Jumat, 03 November 2017

AL ISTIHSAN Sebagai Salah Satu Metode Istimbath Hukum

oleh: Azizatul Fuad, Nuraeni, Syarifah Aisyah, Titin Nihayah, Waneti

A.   Latar Belakang

Berdasarkan penelitian para jumhur ulama (mayoritas tokoh) bersepakat menetapkan empat sumber dalil dengan susunan pertama al-Quran, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma, dan keempat al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati. Jadi apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama yang harus dicari hukumnya adalah al-Qur’an. Bila ditemukan di dalamnya maka harus dilaksanakan hukum ini. Apabila tidak terdapat di sana, maka harus melihat al-Sunnah, apabila didapati hukumnya di dalamnya, maka harus dilaksanakan hukum itu. Dan apabila tidak didapati, maka harus melihat kepada Ijtima’ para Mujahidin, apabila mereka telah ber-ijtima’ mengenai suatu hukum pada masa-masanya. Bila didapati hukumnya (yakni dalam Ijtima’ tersebut), maka hukum harus dilaksanakan; dan apabila tidak, maka harus berijtihad untuk mencari hukumnya suatu kejadian itu dengan men-qiyas-kan pada hukum yang telah ada nashnya. Dalil (evidence) mengenail empat sumber hukum Islam ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat 59. [1]

Selain dari empat dalil hukum yang telah disepakati ulama, ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam belum sepakat atas penggunaan dalil-dalil. Dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah al-Mursalah, Al-Urf, Al-Ihtishhab, Syaru Man Qablana (Syariat Orang sebelum kita) , dan Madzhab Shahabi (Madzhab Sahabat).

Hukum Islam (wahyu) diturunkan adalah sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul di masyarakat pada saat itu. Di saat sekarang problematika yang muncul, tidak sama dengan problematika pada zaman dulu jelas-jelas berbeda, untuk itu perlu menghidupkan metode-metode baru yang diasumsikan mempunyai kekuatan untuk merespon terhadap permasalahan-permasalahan masyarakat. Karena adanya permasalahan ini tidak terjadi di masa Rasulullah, makaperlu adanya istimbath hukum. Salah satu istimbath hukum yang relevan dengan situasi dan kondisi adalah dengan metode istihsan. Istihsan adalah salah satu metode istimbath hukum yang mampu berdiri sendiri, karena ia memandang padu nilai-nilai kebaikan semata. Oleh karena itu istihsan dapat perubahan masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap perkembangan budaya masyarakat.

Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Jika hanya mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama yang digunakan oleh ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si Mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.[2]

Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah yang terjadi pada zamam sekarang dimana pada zaman nabi belum ada kejadiannya misalnya misalnya masalah deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. tidak ditemukan nash al-Qur'an atau Hadits yang menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Memang bunga Bank termasuk riba, namun apa bunga deposito termasuk riba juga. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas.

Permasalahan lain yang yang membutuhkan istihsan pada saat ini seperti arisan, koperasi, transaksi lewat ATM, menanam investasi, demokrasi dan sebagainya.

B. Pengertian Istihsan

Istihsan menurut Etimologis (lughowi/bahasa)  adalah menganggap baik sesuatu.[3] “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau  ”mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk itu”[4].

Istihsan, yang makna aslinya menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu, menurut teknik para hali hukum, berarti menjalankan keputusan pribadi yang tak didasrkan atas Qiyas, namun didasrkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan.[5]

Sedang menurut istilah Ulama Ushul Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dinemangkan baginya perpindahan itu. Jadai apabila terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu:  Pertama : Segi yang nyata yang menghendaki suatu hukum. Kedua   : Segi tersebunyi yang menghendaki hukum lain. Dan para Mujtahid sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangansecara tersebunyi, maka perpindahan dari saegi pandangan yang nyata inilah yang menurut Syara’ disebut Al-Istihsan.[6]

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

Jadi Ishtisan dipergunakan ketika seorang Mujtahid lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

C. Macam-macam Istihsan

Dari definisi-definisi pada hakikatnya istihsan terdiri dari dua macam yaitu:[7]

1. Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. 

Contoh air sisa minuman burung buas adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena sisa minuman tersebut telah tercampur dengan air liurnya, yaitu meng-qiyas-kan kepada dagingya.

Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas tang tidak langsung bertemu dengan dagingya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, danging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, jarerna dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal menurut Istihsan Qiyasi.

2. Istihsan Istitsna’i

Istihsan Istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi menjadi beberapa macam sebagai berikut:

a. Istihsan bi an-Nashsh
Yaitu perkara pada setiap masalah yang menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeda dengan kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nash dari Allah SWT. Contohnya dalam hal wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat.

b. Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan dengan ijma’ ialah suatu peralihan dari hukum pada satu-satu masalah yang telah menjadi kaedah umum kepada hukum yang diistinbat melalui ijma’. Contoh yang dewasa  ini sering terjadi adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia  pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa  menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya. 

c. Istihsan bi ad-Dharurah
Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan. Contohnya dalam kasus  sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari  mata air sulit untuk dikeringkan.

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis cukup  dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan lainnya.

d. Istihsan bi al-‘urf
Yaitu  meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku, baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ no dua diatas, yaitu dalam maslah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak airnya  dan lama pemandian yang digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan banyaknya air yang terpakai.

e. Istihsan bi al- muslahah
Yaitu mengevualikan ketentuan hukum yang belum berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prisnip kemaslahatan. Adapun ulama malikiyyah mencntohkan dengan membolehkan dokter melihat aurat wanita dalam berobat.

D. Kehujjahan Istihsan

Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:

1. Kelompok pertama. Jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umumnya nash.[8] Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: نستحسن هذا، وندع القيـــاس [9] (kami memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas).

2. Kelompok kedua. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah.[10] Imam Syafi’i  merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: من استحسن فقد شرع “Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”[11].

3. Kelompok ketiga. Kelompok yang menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”[12]

E.  Kesimpulan

1. Istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

2.  Ada dua macam Ihtisan yaitu: Istihsan Qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Istihsan Istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus.

3.  Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak. Kelompok 1 menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umumnya nash. Kelompok ke-2. menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok ke-3 menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah.

F.  Saran

Disarankan hukum-hukum fiqh islam terutama yang telah ditetapkan melalui metode istihsan alangkah baiknya diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, agar memperoleh ridho dari Allah SWT, misalnya mengenai hukum deposito bank, arisan, koperasi, transaksi lewat ATM, menanam investasi, demokrasi dan sebagainya. Namun sebelum melakukan istihsan kita juga harus melihat permasalahannya apakah sesuai dengan syariat islam atau tidak.

Daftar Pustaka

Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul FiqihSemarang: Dina Utama, 1999

Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, Jakarta: Kencana, 2011

Maulana Muhammah Ali, Islamologi, Jakarta: CV. Darul Kutubi Islamiyah, 1977

Saifudin Nur, Ilmu Fiqh: Suatu  Pengantar  Komprehensip Kepada  Hukum  Islam, Bandung: Humaniora, 2007

Maulana Muhammah Ali, Islamologi, Jakarta: CV. Darul Kutubi Islamiyah, 1977

Saifudin Nur, Ilmu Fiqh: Suatu  Pengantar  Komprehensip Kepada  Hukum  Islam, Bandung: Humaniora, 2007

Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid. II, cet. 14, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006,


[1] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih.  (Semarang: Dina Utama, 1999). hlm. 18
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm..319-320
[3] Abdul Wahab Kallaf, Op. Cit, hlm. 18
[4] Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal.324
[5]  Maulana Muhammah Ali, Islamologi, (Jakarta: CV. Darul Kutubi Islamiyah, 1977), hlm. 103
[6] Abdul Wahab Kallaf, Op. Cit, hlm. 18
[7] Saifudin Nur, Ilmu Fiqh: Suatu  Pengantar  Komprehensip Kepada  Hukum  Islam, (Bandung: Humaniora, 2007), hlm. 55
[8]  Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit. hlm. 29
[9]  Syamsuddin Muhammad ibn Muflah Al-Muqdisi al-Hanbali, Ushul Fiqh, (Riyadh: Maktabah al-‘Abikah, 1999), cet. I, jilid. IV, hal. 1464
[10] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), Jilid. II, cet. 14, hal 29
[11] Wahbah Al-Zuhaili, Loc. Cit. hlm.  17
[12] Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar