oleh:
Azizatul Fuad, Nuraeni, Syarifah Aisyah, Titin Nihayah, Waneti
A. Latar Belakang
Berdasarkan penelitian para jumhur ulama (mayoritas
tokoh) bersepakat menetapkan empat sumber dalil dengan susunan pertama
al-Quran, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma, dan keempat al-Qiyas sebagai dalil
yang disepakati. Jadi apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama yang harus
dicari hukumnya adalah al-Qur’an. Bila ditemukan di dalamnya maka harus dilaksanakan
hukum ini. Apabila tidak terdapat di sana, maka harus melihat al-Sunnah,
apabila didapati hukumnya di dalamnya, maka harus dilaksanakan hukum itu. Dan
apabila tidak didapati, maka harus melihat kepada Ijtima’ para Mujahidin, apabila
mereka telah ber-ijtima’ mengenai
suatu hukum pada masa-masanya. Bila didapati hukumnya (yakni dalam Ijtima’
tersebut), maka hukum harus dilaksanakan; dan apabila tidak, maka harus
berijtihad untuk mencari hukumnya suatu kejadian itu dengan men-qiyas-kan pada hukum yang telah ada
nashnya. Dalil (evidence) mengenail
empat sumber hukum Islam ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat
59. [1]
Selain dari empat dalil hukum yang telah disepakati
ulama, ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam belum sepakat
atas penggunaan dalil-dalil. Dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada
enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah al-Mursalah, Al-Urf, Al-Ihtishhab, Syaru
Man Qablana (Syariat Orang sebelum kita) , dan Madzhab Shahabi (Madzhab
Sahabat).
Hukum Islam (wahyu) diturunkan adalah sebagai
jawaban dari permasalahan yang muncul di masyarakat pada saat itu. Di saat
sekarang problematika yang muncul, tidak sama dengan problematika pada zaman
dulu jelas-jelas berbeda, untuk itu perlu menghidupkan metode-metode baru yang
diasumsikan mempunyai kekuatan untuk merespon terhadap
permasalahan-permasalahan masyarakat. Karena adanya permasalahan ini tidak
terjadi di masa Rasulullah, makaperlu adanya istimbath hukum. Salah satu istimbath
hukum yang relevan dengan situasi dan kondisi adalah dengan metode istihsan. Istihsan
adalah salah satu metode istimbath hukum yang mampu berdiri sendiri, karena ia
memandang padu nilai-nilai kebaikan semata. Oleh karena itu istihsan dapat
perubahan masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap perkembangan budaya
masyarakat.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa
yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan
semakin komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut
adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Jika hanya mengandalkan
pendekatan dengan cara atau metode lama yang digunakan oleh ulama terdahulu
untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan
tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si Mujtahid harus mampu menemukan
pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu
kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya
dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia
yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.[2]
Dengan menggunakan dasar istihsan, kita
dapat menghadapi masalah yang terjadi pada zamam sekarang dimana pada zaman
nabi belum ada kejadiannya misalnya misalnya masalah deposito dan bunganya
tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. tidak ditemukan nash al-Qur'an atau
Hadits yang menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Memang bunga Bank
termasuk riba, namun apa bunga deposito termasuk riba juga. Yang kita sebut
syari'at pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang
sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban
lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas.
Permasalahan lain yang yang membutuhkan
istihsan pada saat ini seperti arisan, koperasi, transaksi lewat ATM, menanam
investasi, demokrasi dan sebagainya.
B. Pengertian Istihsan
Istihsan
menurut Etimologis (lughowi/bahasa) adalah menganggap baik sesuatu.[3]
“Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”,
atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau ”mencari yang lebih baik
untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk itu”[4].
Istihsan, yang makna aslinya menganggap baik suatu barang
atau menyukai barang itu, menurut teknik para hali hukum, berarti menjalankan
keputusan pribadi yang tak didasrkan atas Qiyas, namun didasrkan atas
kepentingan umum atau kepentingan keadilan.[5]
Sedang menurut istilah Ulama Ushul Istihsan adalah
berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada
ketentuan qiyas Khafi (yang samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan
dinemangkan baginya perpindahan itu. Jadai apabila terjadi sesuatu kejadian dan
tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua
segi yang bertentangan, yaitu: Pertama :
Segi yang nyata yang menghendaki suatu hukum. Kedua : Segi tersebunyi yang menghendaki hukum
lain. Dan para Mujtahid sudah terdapat dalil yang memenangkan segi
pandangansecara tersebunyi, maka perpindahan dari saegi pandangan yang nyata
inilah yang menurut Syara’ disebut Al-Istihsan.[6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya istihsan itu
adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan
kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum
yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena
berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Jadi Ishtisan dipergunakan ketika seorang Mujtahid lebih
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang
sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka
harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau
ketentuan yang sudah jelas.
C. Macam-macam
Istihsan
Dari definisi-definisi pada hakikatnya istihsan terdiri
dari dua macam yaitu:[7]
1. Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari
ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan
ketentuan hukum tersebut.
Contoh air sisa minuman burung buas adalah suci dan halal
diminum, seperti: sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal,
berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung
buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena sisa minuman tersebut telah
tercampur dengan air liurnya, yaitu meng-qiyas-kan kepada dagingya.
Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan
mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh
burung buas berbeda dengan mulut binatang buas tang tidak langsung bertemu
dengan dagingya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan,
sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang
atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, danging dan air liurnya
tidak secara langsung bertemu dengan air, jarerna dipisahkan oleh paruh yang
terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman
burung buas tidak najis dan halal menurut Istihsan Qiyasi.
2. Istihsan Istitsna’i
Istihsan Istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian
dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan
hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat
dibagi menjadi beberapa macam sebagai berikut:
a. Istihsan bi an-Nashsh
Yaitu perkara pada setiap masalah yang menunjukkan hukum
yang bertentangan dan berbeda dengan kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nash
dari Allah SWT. Contohnya dalam hal wasiat. Menurut ketentuan umum
atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik
kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap
lagi, yaitu setelah ia wafat.
b. Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan dengan ijma’ ialah suatu peralihan dari hukum
pada satu-satu masalah yang telah menjadi kaedah umum kepada hukum yang
diistinbat melalui ijma’. Contoh yang dewasa ini sering terjadi
adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa
pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa
jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan
maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat
menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun
tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya.
c. Istihsan bi ad-Dharurah
Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu
kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi
memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan. Contohnya dalam
kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu
sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur tersebut, karena
sumur yang sumbernya dari mata air sulit untuk dikeringkan.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam dalam keadaan
seperti ini, untuk menghilangkan najis cukup dengan memasukkan
beberapa galon air ke dalam sumur, karena keadaan darurat menghendaki agar
orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan
kebutuhan lainnya.
d. Istihsan bi al-‘urf
Yaitu meninggalkan apa yang menjadi
konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku,
baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Contohnya sama dengan
contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ no dua diatas, yaitu dalam
maslah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak airnya dan lama
pemandian yang digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa
dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan banyaknya air yang terpakai.
e. Istihsan bi al- muslahah
Yaitu mengevualikan ketentuan hukum yang belum berlaku
umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang
memenuhi prisnip kemaslahatan. Adapun ulama malikiyyah mencntohkan dengan
membolehkan dokter melihat aurat wanita dalam berobat.
D. Kehujjahan Istihsan
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi
istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:
1. Kelompok pertama. Jumhur ulama ushul
Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa
istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang
berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umumnya nash.[8]
Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan
memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu
Hanifah: نستحسن هذا، وندع القيـــاس [9]
(kami memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas).
2. Kelompok kedua. Kelompok yang menolak
istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan
hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan
sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok
zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah.[10]
Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan
tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: من استحسن فقد شرع “Siapa yang memakai
istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”[11].
3. Kelompok ketiga. Kelompok yang
menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia
bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’
yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan
urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini
terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri
sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan
dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang
ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”[12]
E. Kesimpulan
1. Istihsan itu adalah keterkaitan dengan
penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik
dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak
dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang
khusus dan spesifik.
2. Ada dua macam Ihtisan yaitu: Istihsan Qiyasi ialah suatu
bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali
kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan
yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Istihsan Istitsna’i
ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan
prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus.
3. Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi
istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak. Kelompok 1
menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu
hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umumnya nash.
Kelompok ke-2. menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa
istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok
ke-3 menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi
dia bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi menopang kepada dalil syara’ yang
lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf,
atau dengan maslahah.
F. Saran
Disarankan hukum-hukum fiqh islam terutama yang telah ditetapkan melalui
metode istihsan alangkah baiknya diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari,
agar memperoleh ridho dari Allah SWT, misalnya mengenai hukum deposito bank, arisan, koperasi, transaksi lewat ATM, menanam investasi,
demokrasi dan sebagainya. Namun sebelum melakukan
istihsan kita juga harus melihat permasalahannya apakah sesuai dengan syariat
islam atau tidak.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama,
1999
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh
jilid II, Jakarta: Kencana, 2011
Maulana Muhammah Ali, Islamologi, Jakarta: CV. Darul
Kutubi Islamiyah, 1977
Saifudin Nur, Ilmu Fiqh: Suatu Pengantar Komprehensip
Kepada Hukum Islam, Bandung: Humaniora, 2007
Maulana Muhammah Ali, Islamologi, Jakarta:
CV. Darul Kutubi Islamiyah, 1977
Saifudin Nur, Ilmu Fiqh: Suatu Pengantar Komprehensip
Kepada Hukum Islam, Bandung: Humaniora, 2007
Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, Jilid. II, cet. 14, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006,
[7] Saifudin Nur, Ilmu Fiqh: Suatu Pengantar Komprehensip Kepada Hukum
Islam, (Bandung: Humaniora, 2007), hlm. 55
[9]
Syamsuddin Muhammad ibn Muflah Al-Muqdisi al-Hanbali,
Ushul Fiqh, (Riyadh: Maktabah al-‘Abikah, 1999), cet. I, jilid. IV, hal. 1464
[10] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2006), Jilid. II, cet. 14, hal 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar