Senin, 23 Oktober 2017

FILSAFAT ABAD MODERN (Renaissance, Rasionalisme, Idealisme, Empirisme, Kantianisme)

Penulis: Azizatul F, Novita, Siti Rahmawati, Yayu Sri Wahyu Ningsih
A.   Pendahuluan

Menurut Meliono (2007), filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena  kehidupan, dan pemikiran manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak di dalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen, dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi, dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir, dan logika bahasa.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran, dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Filsafat Modern merupakan pembagian dalam sejarah filsafat barat pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20, sekaligus menjadi tanda berakhirnya era skolastisisme. Zaman filsafat modern dimulai sejak munculnya rasionalisme lewat pemikiran Descartes, seorang filsuf terkemuka di zaman Modern. Pada masa ini rasionalisme semakin kuat, sehingga tidak mudah menentukan mulai dari kapan Filsafat Abad Pertengahan berhenti. Namun, dapat dikatakan bahwa Abad Pertengahan itu berakhir pada abad 15 dan 16 atau pada akhir masa Renaissance, yang kemudian ditandai lahirnya Masa Modern. Satu hal yang yang menjadi perhatian pada masa Renaissance ini adalah perkembangannya. Timbulnya ilmu pengetahuan yang modern, berdasarkan metode eksperimental dan matematis, menjadikan segala sesuatunya, terutama di bidang ilmu pengetahuan, mengutamakan logika dan empirisme. Aristotelian (penganut faham Aristoteles) menguasai seluruh Abad Pertengahan ini melalui hal-hal tersebut. Dari sudut pandang sejarah, pada masa ini Filsafat Barat menjadi penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang bersifat kasar dan sinis, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental.

Filsafat abad modern telah dimulai. Secara historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan abad ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan Ranaissance. Ranaissance berartikelahiran kembali, yang mengacu kepada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia (pertengahan abad ke-14). Tujan utamanya adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama kriten. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja yang terpecah-pecah.. Disamping itu, para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.

Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.

A. Renaisance

Menurut Achmadi (2012), renaisance berasal dari istilah bahasa Prancis renaissance yang berarti kelahiran kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh para ahli sejarah untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia sepanjang abad ke 15 dan ke 16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh seorang ahli sejarah terkenal yang bernama Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode Abad Pertengahan.

Abad Pertengahan adalah abad ketika alam pikiran dikungkung oleh Gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat dibatasi, sehingga perkembangan sains sulit terjadi, demikian pula filsafat tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif  itulah orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju, pemikiran tidak dikungkung, sehingga sains berkembang, yaitu zaman Yunani kuno. Pada zaman Yunani kuno tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan kembali

Zaman renaisance banyak memberikan perhatian pada aspek realitas. Perhatian yang sebenarnya difokuskan pada hal-hal yang bersifat kongkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan dan porsi yang lebih besar, karena ada suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan pemecahannya. Hal ini dibuktikan dengan perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan adalah, semakin besar kekuasaan akal, maka akan lahir dunia baru yang dihuni oleh manusia-manusia yang dapat merasakan kepuasan atas dasar kepemimpinan akal yang sehat.

C. Rasionalisme

Menurut Ahmad Tafsir (2013 : 127), rasionalisme adalah paham filsafat yang  mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Pelopor rasionalisme : Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716)

Masykur Arif Rahman (2013: 241), rasio yang dimaksud oleh Descartes adalah kesadaran (cogito). Sejak Descartes mengeluarkan konsepnya tentang kesadaran, para filsuf mulai benar-benar menggeluti masalah kesadaran. Descartes menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya, A Discourse on Methode mengemukakan empat hal berikut :

1.   Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distincictly.
2.   Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.   Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.   Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.


D.  Idealisme

Setelah Kant mengatakan tentang kemampuan akal manusia, maka para murid Kant tidak puas terhadap batas kemampuan, alasannya karena akal murni tidak dapat mengenal hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu, dicarinya suatu dasar, yaitu suatu sistem metifisika yang ditemukan lewat dasar tindakan.

Pelopor idealisme: J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860). Apa yang dirintis oleh Kant mencapai puncak perkembangannya pada Hegel. Setelah ia mempelajari pemikiran Kant, ia tidak merasa puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasi secara kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat dipenuhi, yaitu jika peritiwa-peristiwa itu sudah otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbilkan gerak lain. Artinya, gerak yang menimbulkan makalah, kemudian menimbulkan anti makalah (gerak yang bertentangan), kemudian timbul sinmakalah yang merupakan makalah baru, yang nantinya menimbulkan antimakalah dan seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.

E. Empirisme

Menurut Ahmad Tafsir (2013), empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme adalah lawan rasionalisme.

Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan ide atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman. Sebab, sebelum manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio seperti tabula rasa (kertas putih kosong). Dengan contoh lain, bagi Locke, pikiran ibarat papan tulis yang masih polos dan kosong sebelum guru masuk kelas.
Proses Memperoleh Pengetahuan

Bagaimana proses memperoleh pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman itu? Pertama-tama sebelum manusia mengetahui sesuatu, ia melakukan proses pengindraan, pengamatan, atau observasi terhadap dunia di luar dirinya, seperti mengamati keluasan, warna, dan bau, serta mendengarkan sesuatu. Segala sesuatu yang ditangkap dari dunia luar melalui indra, oleh John Locke disebut “pandangan sederhana” atau “ide-ide sederhana” (simple ideas).

Selanjutnya, pandangan sederhana atau ide-ide sederhana itu terolah di dalam pikiran dengan cara digabung-gabungkan dan diabstraksikan, sehingga menghasilkan “pandangan kompleks” atau “ide-ide kompleks” (complex ideas), seperti ide kemanusiaan, keadilan, pepohonan dan lainnya.

Rasionalisme memahami bahwa pada setiap benda, terdapat substansi. Misalnya, pada manusia, substansinya disebut “pikiran”. Namun, menurut Hume, “pikiran” bukanlah substansi, karena “pikiran” pada dasarnya hanyalah sekumpulan kesan yang datang silih berganti dan terus menerus. Pernyataan Hume tersebut bermakna bahwa “pikiran” tidak dapat dikatakan sebagai substansi, karena “pikiran” bukanlah subjek yang berdiri sendiri. Dikatakan demikian karena ”pikiran” baginya hanyalah sekumpulan kesan belaka, seperti perasaan sedih, sakit, dingin, panas, takut, bahagia dan lainnya. Semua itu hanyalah sekumpulan kesan yang oleh sebagian manusia dianggap sebagai substansi.

F. Kantianisme

Filosof yang  melakukan dobrakan kritis 500 tahun terakhir adalah tokoh kritisisme. Tokoh utama Kritisisme adalah Immanuel Kant yang melahirkan Kantianisme.

Menurut Tafsir Ahmad (2013), Kant berendapat bahwa pengetahuan yang dihasilkan aliran rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-Apriori. Putusan ini memang mengandung suatu kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan aliran empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori. Yang sifatnya tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan yang Sintetik-Apriori. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori, menurut Kant ada pada tiga bidang yang harus dilalui. Yaitu :

1.   Bidang Inderawi ; disini peranan subjek lebih menonjol, tapi harus ada bentuk rasio murni yaitu ruang dan waktu yang dapat diterapkan pada pengalaman. Hasil pencerapan indrawi inderawi yang dikaitkan dengan bentuk ruang dan waktu ini merupakan fenomena konkret. Namun pengetahuan yang diperoleh dalam bidang inderawi ini selalu berubah-ubah tergantung pada subjek yang mengalami, dan situasi yang melingkupinya.
2.   Bidang akal ; apa yang telah diperoleh melalui bidang inderawi tersebut untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal haruslah dituangkan ke dalam bidang akal.
3.   Bidang rasio ; pengetahuan yang telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan Sintetik-Apriori, setelah dikaitkan dengan tiga macam ide, yaitu Allah (ide teologis) Jiwa (ide psikologis) dan dunia (ide kosmologis). Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.

G. Kesimpulan

1.   Renaissance yaitu suatu gerekan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Gerakan ini juga menunjuk pada zaman dimana ditekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir, berkreasi serta mengembangkan seni dan sastra dan ilmu pengetahuan.
2.   Rasionalisme, yaitu telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri).
3.   Idealisme yaitu, ide yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbilkan gerak lain. Artinya, gerak yang menimbulkan makalah, kemudian menimbulkan anti makalah (gerak yang bertentangan), kemudian timbul sinmakalah yang merupakan makalah baru, yang nantinya menimbulkan antimakalah dan seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.
4.   Emipirisme, yaitu karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal itu terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra (empiri), dan empirilah satu-satunya sumber pengetahuan. Dan pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme.
5.   Kantianisme adalah setiap kita mengambil keputusan akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan ada pada tiga bidang yang harus dilalui pengetahuan yang dihasilkan aliran rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-Apriori. Putusan ini memang mengandung suatu kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan aliran empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori. Yang sifatnya tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan yang Sintetik-Apriori. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori, menurut Kant ada pada tiga bidang yang harus dilalui. Yaitu bidang Inderawi;  bidang akal;  bidang rasio. Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.

Disamping itu masih ada filsafat pragmatism, eksistensialisme, positivisme, materialism, marxisme dan anti theism atau atheism.

H. Saran

1.   Disarankan agar kita dapat memahami perkembangan filsafat modern dari Renaissance, Rasionalisme, Idealisme, empirisme dan kantianisme yang erat kaitan dengan timbulnya ilmu pengetahuan yang modern, berdasarkan metode eksperimental dan matematis, menjadikan segala sesuatunya, terutama di bidang ilmu pengetahuan, mengutamakan logika dan empirisme.
2.   Pada masa ini filsafat barat menjadi panggung perdebatan antar filsuf dimana filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas yang kadang bersifat kasar dan sinis, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental. Disarankan pada kita untuk berargurmentasi dengan bijak, sabar dan sopan.

  
Referensi:

Amoro, Achmadi. 2012. Filsafat Umum . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Irmayanti, Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1 dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

Rahman, Masykur Arif, 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: IRCiSoD

Tafsir, Ahmad, 2013. Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar