A. Pendahuluan
Menurut Meliono (2007), filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara
kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak di dalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen, dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi, dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi
falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir, dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu
yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat
filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di
samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran, dan
ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling
dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan
sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Filsafat Modern merupakan
pembagian dalam sejarah filsafat barat pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20,
sekaligus menjadi tanda berakhirnya era skolastisisme. Zaman filsafat modern
dimulai sejak munculnya rasionalisme lewat pemikiran Descartes, seorang filsuf
terkemuka di zaman Modern. Pada masa ini rasionalisme semakin kuat, sehingga
tidak mudah menentukan mulai dari kapan Filsafat Abad Pertengahan berhenti.
Namun, dapat dikatakan bahwa Abad Pertengahan itu berakhir pada abad 15 dan 16
atau pada akhir masa Renaissance, yang kemudian ditandai lahirnya Masa Modern.
Satu hal yang yang menjadi perhatian pada masa Renaissance ini adalah
perkembangannya. Timbulnya ilmu pengetahuan yang modern, berdasarkan metode
eksperimental dan matematis, menjadikan segala sesuatunya, terutama di bidang
ilmu pengetahuan, mengutamakan logika dan empirisme. Aristotelian (penganut
faham Aristoteles) menguasai seluruh Abad Pertengahan ini melalui hal-hal
tersebut. Dari sudut pandang sejarah, pada masa ini Filsafat Barat menjadi
penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan gaya
dan argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang bersifat
kasar dan sinis, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental.
Filsafat abad modern telah dimulai. Secara
historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua
abad (abad ke-14 dan abad ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan
Ranaissance. Ranaissance berartikelahiran kembali, yang mengacu kepada gerakan
keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia (pertengahan abad ke-14).
Tujan utamanya adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup kristiani
dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama kriten. Selain itu, juga
dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja yang terpecah-pecah.. Disamping
itu, para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari
keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan
kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.
Renaissance akan banyak memberikan segala
aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret
dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada
masa itu pula terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang
mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan
bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga
pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan
yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.
A. Renaisance
Menurut Achmadi (2012), renaisance
berasal dari istilah bahasa Prancis renaissance
yang berarti kelahiran kembali (rebirth).
Istilah ini biasanya digunakan oleh para ahli sejarah untuk menunjuk berbagai
periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia
sepanjang abad ke 15 dan ke 16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh seorang
ahli sejarah terkenal yang bernama Michelet, kemudian dikembangkan oleh J.
Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang
bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan
manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode Abad Pertengahan.
Abad Pertengahan adalah abad
ketika alam pikiran dikungkung oleh Gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan
pemikiran amat dibatasi, sehingga perkembangan sains sulit terjadi, demikian
pula filsafat tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak
mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari
alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif itulah orang teringat
pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju, pemikiran tidak
dikungkung, sehingga sains berkembang, yaitu zaman Yunani kuno. Pada zaman
Yunani kuno tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi
seperti itulah yang hendak dihidupkan kembali
Zaman renaisance banyak
memberikan perhatian pada aspek realitas. Perhatian yang sebenarnya difokuskan
pada hal-hal yang bersifat kongkret dalam lingkup alam semesta, manusia,
kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia
untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan dan
porsi yang lebih besar, karena ada suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat
menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan pemecahannya. Hal ini
dibuktikan dengan perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan
terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan
adalah, semakin besar kekuasaan akal, maka akan lahir dunia baru yang dihuni
oleh manusia-manusia yang dapat merasakan kepuasan atas dasar kepemimpinan akal
yang sehat.
C. Rasionalisme
Menurut Ahmad Tafsir (2013 : 127), rasionalisme
adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.
Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat
dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Pelopor
rasionalisme : Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716)
Masykur Arif Rahman (2013: 241), rasio yang dimaksud oleh
Descartes adalah kesadaran (cogito). Sejak Descartes mengeluarkan
konsepnya tentang kesadaran, para filsuf mulai benar-benar menggeluti masalah
kesadaran. Descartes menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode
keragu-raguan. Karyanya, A
Discourse on Methode mengemukakan empat
hal berikut :
1.
Kebenaran baru
dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan
tegas (clearly and distincictly.
2.
Pecahkanlah setiap
kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin, sehingga tidak ada suatu
keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.
Bimbinglah pikiran
dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui,
kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.
Dalam proses pencarian
dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan
yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga
diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan
dalam penjelajahan itu.
D. Idealisme
Setelah Kant mengatakan tentang kemampuan akal
manusia, maka para murid Kant tidak puas terhadap batas kemampuan, alasannya
karena akal murni tidak dapat mengenal hal yang berada di luar pengalaman.
Untuk itu, dicarinya suatu dasar, yaitu suatu sistem metifisika yang ditemukan
lewat dasar tindakan.
Pelopor idealisme: J.G. Fichte (1762-1814),
F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer
(1788-1860). Apa yang dirintis oleh Kant mencapai puncak perkembangannya pada
Hegel. Setelah ia mempelajari pemikiran Kant, ia tidak merasa puas tentang ilmu
pengetahuan yang dibatasi secara kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiwa
di dunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat dipenuhi, yaitu jika
peritiwa-peristiwa itu sudah otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide
yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbilkan gerak lain. Artinya,
gerak yang menimbulkan makalah, kemudian menimbulkan anti makalah (gerak yang
bertentangan), kemudian timbul sinmakalah yang merupakan makalah baru, yang
nantinya menimbulkan antimakalah dan seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai
dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.
E. Empirisme
Menurut Ahmad Tafsir (2013), empirisme adalah
suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba
atau pengalaman. Empirisme adalah lawan rasionalisme.
Buku Locke, Essay Concerning Human
Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua
pengetahuan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan
ide atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman. Sebab,
sebelum manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio seperti tabula rasa
(kertas putih kosong). Dengan contoh lain, bagi Locke, pikiran ibarat papan
tulis yang masih polos dan kosong sebelum guru masuk kelas.
Proses Memperoleh Pengetahuan
Bagaimana proses memperoleh pengetahuan yang
berdasarkan pada pengalaman itu? Pertama-tama sebelum manusia mengetahui
sesuatu, ia melakukan proses pengindraan, pengamatan, atau observasi terhadap
dunia di luar dirinya, seperti mengamati keluasan, warna, dan bau, serta
mendengarkan sesuatu. Segala sesuatu yang ditangkap dari dunia luar melalui
indra, oleh John Locke disebut “pandangan sederhana” atau “ide-ide sederhana”
(simple ideas).
Selanjutnya, pandangan sederhana atau ide-ide
sederhana itu terolah di dalam pikiran dengan cara digabung-gabungkan dan
diabstraksikan, sehingga menghasilkan “pandangan kompleks” atau “ide-ide
kompleks” (complex ideas), seperti ide kemanusiaan, keadilan, pepohonan dan
lainnya.
Rasionalisme memahami bahwa pada setiap benda,
terdapat substansi. Misalnya, pada manusia, substansinya disebut “pikiran”.
Namun, menurut Hume, “pikiran” bukanlah substansi, karena “pikiran” pada
dasarnya hanyalah sekumpulan kesan yang datang silih berganti dan terus
menerus. Pernyataan Hume tersebut bermakna bahwa “pikiran” tidak dapat
dikatakan sebagai substansi, karena “pikiran” bukanlah subjek yang berdiri
sendiri. Dikatakan demikian karena ”pikiran” baginya hanyalah sekumpulan kesan
belaka, seperti perasaan sedih, sakit, dingin, panas, takut, bahagia dan
lainnya. Semua itu hanyalah sekumpulan kesan yang oleh sebagian manusia
dianggap sebagai substansi.
F. Kantianisme
Filosof yang melakukan dobrakan kritis
500 tahun terakhir adalah tokoh kritisisme. Tokoh utama Kritisisme adalah
Immanuel Kant yang melahirkan Kantianisme.
Menurut Tafsir Ahmad (2013), Kant berendapat
bahwa pengetahuan yang dihasilkan aliran rasionalisme tercermin dalam putusan
yang bersifat analitik-Apriori. Putusan ini memang mengandung suatu
kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan aliran
empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori. Yang sifatnya
tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan yang
Sintetik-Apriori. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi
dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori,
menurut Kant ada pada tiga bidang yang harus dilalui. Yaitu :
1.
Bidang
Inderawi ; disini peranan
subjek lebih menonjol, tapi harus ada bentuk rasio murni yaitu ruang dan waktu
yang dapat diterapkan pada pengalaman. Hasil pencerapan indrawi inderawi yang
dikaitkan dengan bentuk ruang dan waktu ini merupakan fenomena konkret. Namun
pengetahuan yang diperoleh dalam bidang inderawi ini selalu berubah-ubah tergantung
pada subjek yang mengalami, dan situasi yang melingkupinya.
2.
Bidang
akal ; apa yang telah
diperoleh melalui bidang inderawi tersebut untuk memperoleh pengetahuan yang
bersifat objektif-universal haruslah dituangkan ke dalam bidang akal.
3.
Bidang
rasio ; pengetahuan yang
telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan Sintetik-Apriori,
setelah dikaitkan dengan tiga macam ide, yaitu Allah (ide teologis) Jiwa (ide
psikologis) dan dunia (ide kosmologis). Namun ketiga macam ide itu sendiri
tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya
merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.
G. Kesimpulan
1.
Renaissance yaitu suatu gerekan yang meliputi suatu zaman dimana
orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Gerakan ini juga menunjuk pada
zaman dimana ditekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir,
berkreasi serta mengembangkan seni dan sastra dan ilmu pengetahuan.
2.
Rasionalisme, yaitu
telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai
sumber pengetahuan yang yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal
(rasio) dan pengalaman (empiri).
3.
Idealisme yaitu, ide
yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbilkan gerak lain. Artinya,
gerak yang menimbulkan makalah, kemudian menimbulkan anti makalah (gerak yang
bertentangan), kemudian timbul sinmakalah yang merupakan makalah baru, yang
nantinya menimbulkan antimakalah dan seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai
dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.
4.
Emipirisme, yaitu
karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan
orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal itu terjadi karena filsafat dianggap
tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar
sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang
bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra (empiri), dan
empirilah satu-satunya sumber pengetahuan. Dan pemikiran tersebut lahir dengan
nama empirisme.
5.
Kantianisme adalah
setiap kita mengambil keputusan akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan
serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan ada pada tiga bidang yang harus
dilalui pengetahuan yang dihasilkan aliran rasionalisme tercermin dalam putusan
yang bersifat analitik-Apriori. Putusan ini memang mengandung suatu
kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan aliran
empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori. Yang sifatnya
tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan yang
Sintetik-Apriori. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi
dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori,
menurut Kant ada pada tiga bidang yang harus dilalui. Yaitu bidang Inderawi; bidang akal; bidang rasio. Namun ketiga macam ide
itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga ide
ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.
Disamping itu masih
ada filsafat pragmatism, eksistensialisme, positivisme, materialism, marxisme
dan anti theism atau atheism.
H. Saran
1.
Disarankan agar kita
dapat memahami perkembangan filsafat modern dari Renaissance, Rasionalisme,
Idealisme, empirisme dan kantianisme yang erat kaitan dengan timbulnya
ilmu pengetahuan yang modern, berdasarkan metode eksperimental dan matematis,
menjadikan segala sesuatunya, terutama di bidang ilmu pengetahuan, mengutamakan
logika dan empirisme.
2.
Pada masa ini filsafat barat menjadi panggung perdebatan antar
filsuf dimana filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas yang
kadang bersifat kasar dan sinis, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang
sentimental. Disarankan pada kita untuk berargurmentasi dengan bijak, sabar dan
sopan.
Referensi:
Amoro, Achmadi. 2012. Filsafat Umum .
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Irmayanti, Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta:
Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1 dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
Rahman, Masykur Arif, 2013. Buku Pintar
Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: IRCiSoD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar