oleh
: Azizatul Fuad
A.
Pendahuluan
Khalifah
adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr
al-Mu’minīn atau “pemimpin orang yang beriman”, atau “pemimpin
orang-orang mukmin”, yang kadang-kadang disingkat menjadi “amir”. Khalifah
berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama.
Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan
majelis Syura’yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdiyakni para
ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan
mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai’at yang merupakan
perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Berakhirnya
kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang
berpola dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang
masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah
dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk
pemerintahan dinasti atau kerajaan yang bersifat kekuasaan foedal dan turun
temurun, mempertahankan kekuasaan, otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan,
diplomasi dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah
dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti
sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayah merupakan kerajaan Islam pertama
yang didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini
dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali
dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Muawiyah
meletakkan sebuah peradaban baru dalam dunia Islam, ia membangun sebuah
pemerintahan berbentuk daulah (kerajaan) melalui dinasti besar yang bernama
dinasti Bani Umayah.Dinasti yang dibangun dengan pertumpahan darah pada masa
awal berdirinya itu ternyata berhasil menggoreskan jejak peradaban maju,
yang sulit tertandingi pada masa-masa setelahnya bahkan sampai saat ini.
Dinasti
Umayah merupakan Dinasti Arab sentris. Semua sultan-sultan berkuasa sepanjang
sejarahnya berkebangsaan Arab, dan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara.
Kekuaasaan Dinasti Umayah dengan khalifah pertamanya Muawiyah terbentang luas
hingga bagian Timur. Wilayah Syria yang berpusat di Damaskus, sebagai pusat
politik kerajaan saat itu, termasuk juga wilayah Kuffah yang menjadi wilayah
pengungsia kaum Syi’ah pada masa Khalifah Ali bin Abi Thal;ib. Muawiyah tidak
hanya mengonsolidasi kekuatan negara, malinkan juga perluasan wilayah
kekuasaan. [1]
Walau
pada awalnya daulah Umayah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas,
namun kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial.
Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain,
yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham ke-Islaman secara umum, yang
tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan
sosial kemasyarakatan.[2]
Namun
sungguh ironis, kemajuan-kemajauan yang telah dicapai daulah Bani Umayah yang
dimulai oleh pendiri daulah tersebut yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, ternyata
hancur lebur yang tinggal menyisakan puing-puing kehancuran setelah munculnya
kekuatan baru dari Bani Abbasiyah, kita dapat meninjau sejarah dinasti Bani
Umayah untuk diambil hikmah yang terkandung dari kejadian dan peristiwa masa
lampau, agar dapat mengambil sisi positif untuk pembelajaran bagi kita mengenai
sejarah.
B.
Kelahiran Dinasti Umayah
Kelahiran
dinasti Bani Umayah tidak terlepas dari situasi politik yang bergejolak sejak
masa Khalifah Utsman bin Affan yang kemudian berakhir dengan terbunuhnya Utsman
pada tahun 35 H. Ketika kepemimpinan dilanjutkan oleh Ali bin Abi Tholib (36 H)
suasana politik semakin memanas, dengan banyaknya tuntutan dan desakan kepada
Ali untuk segera memproses secara hukum orang-orang yang membunuh Utsman.
Tuntutan ini disuarakan oleh Muawiyah yang memiliki hubungan nasab dengan
Utsman dari jalur Umayah bin 'Abd asy-Syams, kemudian didukung oleh
sahabat-sahabat lain seperti Ubadah bin Ash-Shamit, Abu Ad-Darda’, Abu Umamah,
Amr bin Abasah, dan sahabat lainnya.[3]
Besarnya
gelombang fitnah pada masa Ali tidak urung memicu timbulnya perang saudara,
yang melibatkan sahabat-sahabat Nabi bahkan ibu negara Aisyah dalam peristiwa
perang Jamal pada pertengahan tahun 36 H. Disusul dengan perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 H
dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syria.
Muawiyah menolak untuk membaiat Ali sebagai Khalifah dengan alasan Ali tidak
mengambil satu pun langkah nyata untuk membalaskan darah Utsman, namun,
beberapa riwayat menyebutkan bahwa penyebab sebenarnya hanyalah karena
Muawiyah, yang telah lama menjabat sebagai Gubernur, tidak rela kehilangan
jabatannya yang saat itu ingin diganti oleh Ali dengan Sabi bi Junaif.[4]
Kekalahan
Ali bin Abi Thalib dalam perang shiffin terhadap Muawiyah yang
di dalamnya juga diwarnai dengan peristiwa arbitrase atau tahkim yang
kemudian peristiwa itu diketahui merupakan tipu muslihat dari kubu Muawiyah.
Peristiwa arbitrase tersebut memunculkan golongan Khawarij
yang awalnya berada di pihak Ali kemudian menyatakan keluar karena kekecewaan
mereka terhadap putusan Ali yang menerima tahkim dari
Muawiyah. Munculnya kelompok Khawarij ini menyebabkan tentara Ali semakin
melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kokoh. Akhirnya, pada tanggal 20
Ramadhan 40 H (660 M) Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij. [5]
Jabatan
Ali sebagai khalifah sempat digantikan oleh putranya, Hasan selama beberapa
bulan. Namun, posisi Hasan yang melemah akhirnya disepakatilah sebuah traktat perdamaian
yang menandai kembalinya persatuan umat Islam dibawah pimpinan Muawiyah bin Abu
Sufyan. [6] Maka berakhirlah masa al khulafa ar-Rasyidin dengan dimulailah
kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam. Sistem kekhalifahan ini
berlangsung selama tiga puluh tahun. Setelah itu sistem pemerintahan berubah
menjadi sistem dinasti atau kerajaan. Masa pemerintahan Muawiyah merupakan awal
sistem kerajaan, dimana Muawiyah merupakan raja Islam pertama dan terbaik.[7]
C.
Pemerintahan Dinasti Umayah
Setelah
mendapatkan limpahan kekuasaan penuh dari Hasan bin Ali dan kemudian dilantik
sebagai khalifah di Illiya pada 40 H / 660 M, ia mengalihkan pusat pemerintahan
dari Madinah ke Syria dan menjadikan Damaskus sebagai ibu kota kerajaan Islam
yang sebelumnya adalah ibu kota provinsi Syria. Perpindahan pusat pemerintahan
ke Syria menjadi sangat strategis bagi Muawiyah untuk melebarkan kekuasaanya ke
Mesir, Armenia, Mesopotamia utara, Georgia dan Azerbaizan sampai ke Asia kecil
dan Spanyol.
Memasuki
masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan dinasti Umayah,
pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun menurun dimulai ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Model pemerintahan ini adalah bentuk copy dari monarchi
Persia dan Bizantium.[8]
Muawiyah
dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya
dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam
perang saudara di Shiffin melalui cara yang curang, ia juga
dianggap telah menghianati prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Namun, di
sisi lain kita bisa melihat sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, ia
merupakan seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat.[9]
Dalam
pemerintahannya, Muawiyah tidak memaksakan pergantian agama dan membangun
negara yang efisien. Islam tetap menjadi agama para elit Arab penakluk wilayah
negara lain. Orang arab yang belum berpengalaman dalam pemerintahan penjajahan
semula mengandalkan keahlian non-Muslim yang pernah mengabdi pada rezim Byzantium
dan Persia, tapi secara bertahap orang Arab mulai menggantikan para dzimmi dari
posisi-posisi puncak. [10] Yang dimaksud dzimmi adalah orang
non muslim merdeka yang hidup di negara Islam yang karena membayar pajak maka
mereka menerima perlindungan dan keamanan.
Pada abad
selanjutnya, khalifah-khalifah Umayah perlahan-lahan mengubah daerah-daerah
yang ditaklukkan pasukan Muslim menjadi kerajaan kesatuan dengan ideologi
bersama. Ini adalah merupakan prestasi besar, tetapi di lain pihak, istana mulai
mengembangkan budaya dan gaya hidup mewah, sama halnya dengan penguasa lain.
[11]
Kalau
ditelusuri lebih jauh daulah tersebut berkuasa hampir satu abad, tepatnya
selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Yang dimulai oleh Muawiyah bin Abu
Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Diantara mereka ada
pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan
kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah.
Adapun urutan khalifah Daulah Umayah adalah sebagai berikut: [12]
1.
Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
2.
Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
3.
Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
4.
Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
5.
Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
6.
Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
7.
Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
8.
Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
9.
Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
10.
Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
11.
Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
12. Yazid
III bin al-Walid, 127 H / 744 M
13.
Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
14.
Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M
Empat
orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Muawiyah, Abdul
Malik, Al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya
memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya
sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah: Muawiyah, Abdul Malik
dan Umar Bin Abdul Aziz.[13]
Kita
tengok kembali dulu bagaimana nabi Muhammad telah menghasilkan sistem
pemeritahan yang demokratis. Pasca wafatnya Nabi Muhammad, Abu Bakar terpilih
sebagai penerus Nabi Muhammad untuk memimpin kaum muslimin melalui pemilihan
yang melibatkan pemimpin masyarakat Islam yang berkumpul di Madinah. Ia
melaksanakan semua tugas dan meneladani semua keistimewaan Nabi, kecuali
hal-hal yang terkait dengan kenabiannya – karena kenabian berakhir seiring
dengan wafatnya Muhammad. Sehingga Abu Bakr disebut Khalifah Rasul Allah
(Penerus Rasulullah). Umar, kandidat khalifah setelah Abu Bakar, ditunjuk oleh
Abu Bakar sebagai penerusnya. Sistem kekhalifahan yang dilakukan secara demokratis
ini terus berlanjut sampai masa Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan dibaiat
melalui proses musyawarah dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mendirikan
sebuah dinasti
Sistem
kekhalifahan ini berlangsung selama tiga puluh tahun. Setelah itu sistem
pemerintahan berubah menjadi sistem dinasti atau kerajaan. Masa pemerintahan
Muawiyah merupakan awal sistem kerajaan, dimana Muawiyah merupakan raja Islam
pertama dan terbaik.[14]
Kekhalifahan
(pemerintahan) yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis (kerajaan yang turun
temurun), diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan ataupun dengan cara suara terbanyak. Tentu hal ini sangat
bertentangan dengan ajaran Rosulullah SAW, walau para pelaku-pelakunya beragama
Islam namun tidak mencerminkan akhlak seorang muslim dalam berpolitik. Muawiyah
telah menghalalkan segala cara demi untuk memperoleh kekuasaan.
Apalagi
Muawiyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dengan interpretasi baru
dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutkan
khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
D.
Perkembangan Masa Dinasti Umayah
Walau
penuh intrik dan pergolakan namun bani Umayah juga menorehkan kejayaan dimasa-masa
kekhalifahannya, antara lain:
1.
Ekspansi Wilayah
Pada masa
Dinasti Umayah terjadi ekspansi wilayah, menurut A. Syalabi, penaklukan militer
di zaman Umayah mencakup tiga front penting, yaitu sebagai berikut: [15]
a. Front
melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibu
kota Konstantinopel dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah
b. Front
Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika pasukan muslim juga
menyeberangi selat Giblartar, lalu masuk ke Spanyol.
c. Front
Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi jalur ini melalui
dua arah. Yaitu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Ammu
Darya), sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India
bagian barat.
d.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid bin Abdul
Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang
berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari
Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M.
Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin
pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara
Maroko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal
dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan.
Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Cordova, dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain
seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru
setelah jatuhnya Cordova. [16]
Di zaman
Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh
Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqy. Ia mulai dengan menyerang Bordeau,
Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang
terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqy terbunuh dan tentaranya mundur kembali
ke Spanyol. Di samping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada masa Bani Umayah
ini.[17]
2.
Pembenahan Administrasi Pemerintahan
Pemerintah
memiliki tiga tugas utama yang meliputi pengaturan administrasi publik,
pengumpulan pajak, dan pengaturan urusan-urusan keagamaan. Sumber utama
pendapatan negara adalah pajak dan zakat, Muawiyah mengambil kebijakan untuk
menarik pajak 2,5 persen, dari pendapatan tahunan orang Islam, nilainya sama
dengan pajak penghasilan di negara modern saat ini.[18] Untuk
Administrasi negara, Bani Umayah mendirikan diwan, sebagai tempat untuk
menyalin putusan atau peraturan dalam satu register. Diwan yang didirikan
terbatas pada empat diwan penting, Diwan Pajak, Diwan Persuratan, Diwan
Penerimaan, dan Diwan Stempel. Bani Umayah membuat sebuah badan pelayanan
persuratan dan korespondensi yang disebut Barid, yang pada masa sekarang
dikenal dengan kantor pos. Dan mata uang dicetak pertama kali pada masa
pemerintahan Abdul Malik
E. Masa
Keruntuhan Dinasti Umayah
Jadi,
Muawiyah-lah peletak sistem dinasti pertama dalam peradaban Islam, dengan
menunjuk putranya Yazid sebagai penerusnya, dan sejak saat itu sistem kerajaan
tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan.[19]
Untuk
memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi
kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah
sebelumnya, Muawiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang
akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut
dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonann itu, Muawiyah
melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh
lapisan masyarakat. Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa
pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar,
Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin
Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang
diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang
pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya. [20]
Setelah
Muawiyah wafat, daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang
goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas
dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota.
Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi
dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali
dan berkepanjangan. Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di
Madinah tidak mau menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa
tunduk juga, kecuali Husain bin Ali dan Abdullah Bin Zubair. Bersamaan dengan
itu, Syi`ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan
kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayah dimulai oleh Husain Bin Ali pada tahun
680 M. namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran
yang tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang
tubuhnya di kubur di Karbala. Perlawanan kaum Syi`ah tidak padam dengan
terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar
luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi`ah terjadi, diantaranya
terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum
Mawali pada tahun 685-687 M, selain itu Bani Umayah juga mendapat tantangan
dari kaum Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik
dari pihak syi`ah maupun dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi
tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayah. [21]
Hubungan
pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia
juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai
keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan
dengan muslim Arab. Tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhembus dari
pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama,
hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia.
Penggantinya adalah Yazid Bin Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda
dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa
pemerintahan Hisyam Bin Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu
kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayah.
kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan
Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya
kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayah dan mengantinya dengan
Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah. Sepeninggal Hisyam bin Abd. Malik,
khalifah-khalifah Bani Umayah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga
bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun
750 M Daulah Umayah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.
Marwan bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayah, melarikan diri ke Mesir,
ditangkap dan dibunuh di sana. [22]
Secara
Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah
Umayah, kejatuhan Daulah Umayah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayah, pecahnya
persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan
keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut
Islam baru, Mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa
Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap
pemerintahan bani Umayah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut
mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas
keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya
ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok
Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping
itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan
dalam menjatuhkan Daulah Umayah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[24]
F.
Kesimpulan
1.
Berakhirnya masa al khulafa ar-Rasyidin dengan dimulailah kekuasaan Bani Umayah
dalam sejarah politik Islam. Sistem pemerintahan yang dibentuk oleh Muawiyah,
sistem monarki yang dibangun jelas menghianati prinsip demokrasi yang dijunjung
Islam.
2.Muawiyah
sebagai pembangun dinasti Umayah merupakan pemimpin yang tepat bagi umat yang
sedang mengalami perpecahan pada masa itu. Dengan berbekal pengalaman politik
serta disokong dengan pribadi pemimpin cakap yang melekat pada dirinya,
Muawiyah mampu mempersatukan umat. Tidak hanya itu, jiwa militer yang ada dalam
dirinya juga mampu membawa keberhasilan dalam bidang ekspansi wilayah ke Afrika
Utara. Penataan administrasi pemerintahan ditata dengan apik berkat sifat
administratornya dengan mendirikan kantor pos dan percetakan mata uang.
3.
Faktor-faktor penyebab Daulah Bani Umayah mengalami kemunduran adalah :
munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab, kuatnya pengaruh
fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial
dikalangan non Arab (Mawali), perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar
Bani Umayah, larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan
kekuasaan.
G. Saran
1.
Disarankan kita dapat mengambil ibrah dari sejarah bani Umayah ini yaitu jika
menjadi penguasa atau memperoleh kedudukan selalu berpondasi tauhid, yang telah
dirintis oleh Nabi Muhammad sebagai pelopor yang mendobrak peradaban manusia
dari masa kebodohan (jahiliyah) menjadi masa yang baru.
2.
Disarankan kita berpolitik dan mendapat kekuasaan untuk membangun
peradaban harus sesuai dengan tujuan Allah yang telah menempatkan manusia di
bumi sebagai khalifah (pemimpin, penguasa, pengelola) bumi untuk mewujudkan
peradaban yang rohmatan lil ‘alamiin.
3.
Disarankan kepada kita untuk mengambi ibrah atas runtuhnya pemerintahan dinasti
Umayah dapat dijadikan cerminan bahwa suatu peradaban yang menjauh dari Al
Qur’an dan Hadits akan mengalami kehancuran.
Daftar
Pustaka
Abdul
Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap,
Jogjakarta: Saufa, 2014
Adeng
Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah,
Cet.I, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2004
Anonim, Ensiklopedi
Islam Vol. 3 , Cet. XIII, Jakarta: PT. Ichtiar Van Hove 2003
A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1989
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008
Fatah
Syukur, Sejarah Peradaban Isalam, Semarang: Pustaka Riski Putra,
2009.
Hassan
Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit
Kota Kembang, 1989
Khairudin
Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan
sejarah politik kaum sunni, Cet.II, Yogyakarta: Safria Insani Press, 2005
Binu
Katsir, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah ,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2012
Philip K.
Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013
Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Perkasa, 2014.
Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
____________________________
[1]
Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2014) h. 253
[2]
Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap
dinamika dan sejarah politik kaum sunni, Cet.II, (Yogyakarta: Safria
Insani Press, 2005), h. 12
[3] Binu
Katsir, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2012, Jilid XI), h. 225
[4]
Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap(Jogjakarta:
Saufa, 2014), h. 113.
[5]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), h. 40
[6]
Badri Yatim, Sejarah, h. 40
[7] Binu
Katsir, Al Bidayah, h. 714
[8]
Badri Yatim, Sejarah , h. 42
[9]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009).
h. 118
[10]
Samsul Munir Amin, Sejarah , h. 81
[11]
Samsul Munir Amin, Sejarah, h. 81
[12]
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam:
Khulafa`urrasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka
Al-Kautsar; Jakarta: 2001),h. 229 – 304
[13]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos
Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M) h. 72
[14] Binu
Katsir, Al Bidayah, h. 714.
[15]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, (Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1989), h.124-139
[16]
Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989), h. 91
[17]
Badri Yatim, Sejarah, h. 44
[18]
Hitti, History, h. 280
[19]
Hitti, History, h. 229
[20]
Anonim, Ensiklopedi Islam Vol. 3 , Cet. XIII, (Jakarta: PT.
Ichtiar Van Hove 2003), h. 248
[21]
Badri Yatim, Sejarah. h. 45
[22]
Badri Yatim, Sejarah h. 45-46
[23]
Badri Yatim, Sejarah, h. 48-49
[24]
Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan
Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet.I, (Bandung: CV.Pustaka
Setia, 2004), h. 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar