Rabu, 01 November 2017

Peradaban Islam Pada Dinasti Umayah Timur

oleh : Azizatul Fuad

A. Pendahuluan 

Khalifah  adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn atau “pemimpin orang yang beriman”, atau “pemimpin orang-orang mukmin”, yang kadang-kadang disingkat menjadi “amir”. Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan majelis Syura’yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdiyakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai’at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.

Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.

Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, mempertahankan kekuasaan, otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.

Muawiyah meletakkan sebuah peradaban baru dalam dunia Islam, ia membangun sebuah pemerintahan berbentuk daulah (kerajaan) melalui dinasti besar yang bernama dinasti Bani Umayah.Dinasti yang dibangun dengan pertumpahan darah pada masa awal berdirinya itu ternyata  berhasil menggoreskan jejak peradaban maju, yang sulit tertandingi pada masa-masa setelahnya bahkan sampai saat ini.

Dinasti Umayah merupakan Dinasti Arab sentris. Semua sultan-sultan berkuasa sepanjang sejarahnya berkebangsaan Arab, dan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Kekuaasaan Dinasti Umayah dengan khalifah pertamanya Muawiyah terbentang luas hingga bagian Timur. Wilayah Syria yang berpusat di Damaskus, sebagai pusat politik kerajaan saat itu, termasuk juga wilayah Kuffah yang menjadi wilayah pengungsia kaum Syi’ah pada masa Khalifah Ali bin Abi Thal;ib. Muawiyah tidak hanya mengonsolidasi kekuatan negara, malinkan juga perluasan wilayah kekuasaan. [1]

Walau pada awalnya daulah Umayah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham ke-Islaman secara umum, yang tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.[2]

Namun sungguh ironis, kemajuan-kemajauan yang telah dicapai daulah Bani Umayah yang dimulai oleh pendiri daulah tersebut yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, ternyata hancur lebur yang tinggal menyisakan puing-puing kehancuran setelah munculnya kekuatan baru dari Bani Abbasiyah, kita dapat meninjau sejarah dinasti Bani Umayah untuk diambil hikmah yang terkandung dari kejadian dan peristiwa masa lampau, agar dapat mengambil sisi positif untuk pembelajaran bagi kita mengenai sejarah.

B. Kelahiran Dinasti Umayah

Kelahiran dinasti Bani Umayah tidak terlepas dari situasi politik yang bergejolak sejak masa Khalifah Utsman bin Affan yang kemudian berakhir dengan terbunuhnya Utsman pada tahun 35 H. Ketika kepemimpinan dilanjutkan oleh Ali bin Abi Tholib (36 H) suasana politik semakin memanas, dengan banyaknya tuntutan dan desakan kepada Ali untuk segera memproses secara hukum orang-orang yang membunuh Utsman. Tuntutan ini disuarakan oleh Muawiyah yang memiliki hubungan nasab dengan Utsman dari jalur Umayah bin 'Abd asy-Syams, kemudian didukung oleh sahabat-sahabat lain seperti Ubadah bin Ash-Shamit, Abu Ad-Darda’, Abu Umamah, Amr bin Abasah, dan sahabat lainnya.[3]  

Besarnya gelombang fitnah pada masa Ali tidak urung memicu timbulnya perang saudara, yang melibatkan sahabat-sahabat Nabi bahkan ibu negara Aisyah dalam peristiwa perang Jamal pada pertengahan tahun 36 H. Disusul dengan perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 H dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syria. Muawiyah menolak untuk membaiat Ali sebagai Khalifah dengan alasan Ali tidak mengambil satu pun langkah nyata untuk membalaskan darah Utsman, namun, beberapa riwayat menyebutkan bahwa penyebab sebenarnya hanyalah karena Muawiyah, yang telah lama menjabat sebagai Gubernur, tidak rela kehilangan jabatannya yang saat itu ingin diganti oleh Ali dengan Sabi bi Junaif.[4] 

Kekalahan Ali bin Abi Thalib dalam perang shiffin terhadap Muawiyah yang di dalamnya juga diwarnai dengan peristiwa arbitrase atau tahkim yang kemudian peristiwa itu diketahui merupakan tipu muslihat dari kubu Muawiyah. Peristiwa arbitrase tersebut memunculkan golongan Khawarij yang awalnya berada di pihak Ali kemudian menyatakan keluar karena kekecewaan mereka terhadap putusan Ali yang menerima tahkim dari Muawiyah. Munculnya kelompok Khawarij ini menyebabkan tentara Ali semakin melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kokoh. Akhirnya, pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij. [5]

Jabatan Ali sebagai khalifah sempat digantikan oleh putranya, Hasan selama beberapa bulan. Namun, posisi Hasan yang melemah akhirnya disepakatilah sebuah traktat perdamaian yang menandai kembalinya persatuan umat Islam dibawah pimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan. [6] Maka berakhirlah masa al khulafa ar-Rasyidin dengan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam. Sistem kekhalifahan ini berlangsung selama tiga puluh tahun. Setelah itu sistem pemerintahan berubah menjadi sistem dinasti atau kerajaan. Masa pemerintahan Muawiyah merupakan awal sistem kerajaan, dimana Muawiyah merupakan raja Islam pertama dan terbaik.[7]

C. Pemerintahan Dinasti Umayah

Setelah mendapatkan limpahan kekuasaan penuh dari Hasan bin Ali dan kemudian dilantik sebagai khalifah di Illiya pada 40 H / 660 M, ia mengalihkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Syria dan menjadikan Damaskus sebagai ibu kota kerajaan Islam yang sebelumnya adalah ibu kota provinsi Syria. Perpindahan pusat pemerintahan ke Syria menjadi sangat strategis bagi Muawiyah untuk melebarkan kekuasaanya ke Mesir, Armenia, Mesopotamia utara, Georgia dan Azerbaizan sampai ke Asia kecil dan Spanyol.

Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan dinasti Umayah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun menurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Model pemerintahan ini adalah bentuk copy dari monarchi Persia dan Bizantium.[8]

Muawiyah dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Shiffin melalui cara yang curang, ia juga dianggap telah menghianati prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Namun, di sisi lain kita bisa melihat sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, ia merupakan seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat.[9]

Dalam pemerintahannya, Muawiyah tidak memaksakan pergantian agama dan membangun negara yang efisien. Islam tetap menjadi agama para elit Arab penakluk wilayah negara lain. Orang arab yang belum berpengalaman dalam pemerintahan penjajahan semula mengandalkan keahlian non-Muslim yang pernah mengabdi pada rezim Byzantium dan Persia, tapi secara bertahap orang Arab mulai menggantikan para dzimmi  dari posisi-posisi puncak. [10] Yang dimaksud dzimmi adalah orang non muslim merdeka yang hidup di negara Islam yang karena membayar pajak maka mereka menerima perlindungan dan keamanan.

Pada abad selanjutnya, khalifah-khalifah Umayah perlahan-lahan mengubah daerah-daerah yang ditaklukkan pasukan Muslim menjadi kerajaan kesatuan dengan ideologi bersama. Ini adalah merupakan prestasi besar, tetapi di lain pihak, istana mulai mengembangkan budaya dan gaya hidup mewah, sama halnya dengan penguasa lain. [11]

Kalau ditelusuri lebih jauh daulah tersebut berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Yang dimulai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah Daulah Umayah adalah sebagai berikut: [12]

1.  Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
2.  Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
3.  Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
4.  Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
5.  Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
6.  Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
7.  Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
8.  Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
9.  Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
10. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
11. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
12. Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
13. Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
14. Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M

Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Muawiyah, Abdul Malik, Al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah: Muawiyah, Abdul Malik dan Umar Bin Abdul Aziz.[13]

Kita tengok kembali dulu bagaimana nabi Muhammad telah menghasilkan sistem pemeritahan yang demokratis. Pasca wafatnya Nabi Muhammad, Abu Bakar terpilih sebagai penerus Nabi Muhammad untuk memimpin kaum muslimin melalui pemilihan yang melibatkan pemimpin masyarakat Islam yang berkumpul di Madinah. Ia melaksanakan semua tugas dan meneladani semua keistimewaan Nabi, kecuali hal-hal yang terkait dengan kenabiannya – karena kenabian berakhir seiring dengan wafatnya Muhammad. Sehingga Abu Bakr disebut Khalifah Rasul Allah (Penerus Rasulullah). Umar, kandidat khalifah setelah Abu Bakar, ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penerusnya. Sistem kekhalifahan yang dilakukan secara demokratis ini terus berlanjut sampai masa Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan dibaiat melalui proses musyawarah dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mendirikan sebuah dinasti

Sistem kekhalifahan ini berlangsung selama tiga puluh tahun. Setelah itu sistem pemerintahan berubah menjadi sistem dinasti atau kerajaan. Masa pemerintahan Muawiyah merupakan awal sistem kerajaan, dimana Muawiyah merupakan raja Islam pertama dan terbaik.[14]

Kekhalifahan (pemerintahan) yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis (kerajaan yang turun temurun), diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan ataupun dengan cara suara terbanyak. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Rosulullah SAW, walau para pelaku-pelakunya beragama Islam namun tidak mencerminkan akhlak seorang muslim dalam berpolitik. Muawiyah telah menghalalkan segala cara demi untuk memperoleh kekuasaan.

Apalagi Muawiyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dengan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutkan khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.

D.  Perkembangan Masa Dinasti Umayah

Walau penuh intrik dan pergolakan namun bani Umayah juga menorehkan kejayaan dimasa-masa kekhalifahannya, antara lain:

1. Ekspansi Wilayah

Pada masa Dinasti Umayah terjadi ekspansi wilayah, menurut A. Syalabi, penaklukan militer di zaman Umayah mencakup tiga front penting, yaitu sebagai berikut: [15]

a. Front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibu kota Konstantinopel dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah
b. Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika pasukan muslim juga menyeberangi selat Giblartar, lalu masuk ke Spanyol.
c. Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi jalur ini melalui dua arah. Yaitu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Ammu Darya), sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian barat.
d. Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan.  Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova. [16]

Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqy. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqy terbunuh dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Di samping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada masa Bani Umayah ini.[17]

2. Pembenahan Administrasi Pemerintahan

Pemerintah memiliki tiga tugas utama yang meliputi pengaturan administrasi publik, pengumpulan pajak, dan pengaturan urusan-urusan keagamaan. Sumber utama pendapatan negara adalah pajak dan zakat, Muawiyah mengambil kebijakan untuk menarik pajak 2,5 persen, dari pendapatan tahunan orang Islam, nilainya sama dengan pajak penghasilan di negara modern saat ini.[18]  Untuk Administrasi negara, Bani Umayah mendirikan diwan, sebagai tempat untuk menyalin putusan atau peraturan dalam satu register. Diwan yang didirikan terbatas pada empat diwan penting, Diwan Pajak, Diwan Persuratan, Diwan Penerimaan, dan Diwan Stempel. Bani Umayah membuat sebuah badan pelayanan persuratan dan korespondensi yang disebut Barid, yang pada masa sekarang dikenal dengan kantor pos. Dan mata uang dicetak pertama kali pada masa pemerintahan Abdul Malik

E. Masa Keruntuhan Dinasti Umayah

Jadi, Muawiyah-lah peletak sistem dinasti pertama dalam peradaban Islam, dengan menunjuk putranya Yazid sebagai penerusnya, dan sejak saat itu sistem kerajaan tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan.[19]

Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Muawiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonann itu, Muawiyah melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat. Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya. [20]

Setelah Muawiyah wafat, daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan. Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain bin Ali dan Abdullah Bin Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayah dimulai oleh Husain Bin Ali pada tahun 680 M. namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala. Perlawanan kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi`ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M, selain itu Bani Umayah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayah. [21]

Hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhembus dari pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Bin Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam Bin Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayah dan mengantinya dengan Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah. Sepeninggal Hisyam bin Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M Daulah Umayah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana. [22]

Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayah, kejatuhan Daulah Umayah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut Islam baru, Mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[24]

F.  Kesimpulan

1. Berakhirnya masa al khulafa ar-Rasyidin dengan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam. Sistem pemerintahan yang dibentuk oleh Muawiyah, sistem monarki yang dibangun jelas menghianati prinsip demokrasi yang dijunjung Islam.
2.Muawiyah sebagai pembangun dinasti Umayah merupakan pemimpin yang tepat bagi umat yang sedang mengalami perpecahan pada masa itu. Dengan berbekal pengalaman politik serta disokong dengan pribadi pemimpin cakap yang melekat pada dirinya, Muawiyah mampu mempersatukan umat. Tidak hanya itu, jiwa militer yang ada dalam dirinya juga mampu membawa keberhasilan dalam bidang ekspansi wilayah ke Afrika Utara. Penataan administrasi pemerintahan ditata dengan apik berkat sifat administratornya dengan mendirikan kantor pos dan percetakan mata uang.
3. Faktor-faktor penyebab Daulah Bani Umayah mengalami kemunduran adalah : munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab, kuatnya pengaruh fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial dikalangan non Arab (Mawali),  perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayah, larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan.

G. Saran

1. Disarankan kita dapat mengambil ibrah dari sejarah bani Umayah ini yaitu jika menjadi penguasa atau memperoleh kedudukan selalu berpondasi tauhid, yang telah dirintis oleh Nabi Muhammad sebagai pelopor yang mendobrak peradaban manusia dari masa kebodohan (jahiliyah) menjadi masa yang baru.
2. Disarankan kita berpolitik dan mendapat kekuasaan untuk  membangun peradaban harus sesuai dengan tujuan Allah yang telah menempatkan manusia di bumi sebagai khalifah (pemimpin, penguasa, pengelola) bumi untuk mewujudkan peradaban yang rohmatan lil ‘alamiin.
3. Disarankan kepada kita untuk mengambi ibrah atas runtuhnya pemerintahan dinasti Umayah dapat dijadikan cerminan bahwa suatu peradaban yang menjauh dari Al Qur’an dan Hadits akan mengalami kehancuran.


Daftar Pustaka

Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Jogjakarta: Saufa, 2014

Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet.I, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2004

Anonim, Ensiklopedi Islam Vol. 3 , Cet. XIII, Jakarta: PT. Ichtiar Van Hove 2003

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008

Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Isalam, Semarang: Pustaka Riski Putra, 2009.

Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989

Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, Cet.II, Yogyakarta: Safria Insani Press, 2005

Binu Katsir, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah , Jakarta: Pustaka Azzam, 2012

Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013

Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Perkasa,  2014.

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
____________________________

[1] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa,  2014)  h. 253
[2] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, Cet.II, (Yogyakarta: Safria Insani Press, 2005), h. 12
[3] Binu Katsir, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012, Jilid XI), h. 225
[4] Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap(Jogjakarta: Saufa, 2014), h. 113.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008),  h. 40
[6] Badri Yatim, Sejarah, h. 40
[7] Binu Katsir, Al Bidayah, h. 714
[8] Badri Yatim,  Sejarah , h. 42
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009). h. 118
[10] Samsul Munir Amin, Sejarah , h. 81
[11] Samsul Munir Amin, Sejarah, h. 81
[12] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001),h. 229 – 304
[13] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M) h. 72
[14] Binu Katsir, Al Bidayah, h. 714.
[15] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h.124-139
[16] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 91
[17] Badri Yatim,  Sejarah, h. 44
[18] Hitti, History, h. 280
[19] Hitti, History, h. 229
[20] Anonim, Ensiklopedi Islam Vol. 3 , Cet. XIII, (Jakarta: PT. Ichtiar Van Hove 2003), h. 248
[21] Badri Yatim,  Sejarah. h. 45
[22] Badri Yatim,  Sejarah h. 45-46
[23] Badri Yatim,  Sejarah, h. 48-49

[24] Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet.I, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2004), h. 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar