Penulis: Azizah F, Annisa, Haris
Usmani, Rusminiati
A.
Pendahuluan
Membahas perkembangan ilmu kalam atau
pemikiran-pemikiran dalam Islam tentu tidak bisa lepas dari aspek kesejarahan
(baik yang bersifat umum maupun yang
bersifat khusus). Kajian terhadap sejarah pemikiran dalam Islam juga tidak bisa
lepas dari aspek kebudayaan dalam peradaban. Dalam hal ini kebudayaan dan
peradaban dari Arab, mengapa demikian?. Hal ini dikarenakan islam lahir
ditengah-tengah kehidupan masyarakat Arab. Apalagi sejarawan sampai kini masih
terbiasa bila menyebut kebudayaan Arab, yang dimaksud adalah kebudayaan yang
dimulai dengan Islam (lahirnya Islam).
Setelah Rosulullah wafat maka mulai muncullah
beberapa pemikiran yang kadang kontroversi antar satu dengan lainnya. Bahkan
setelah khulafaur Rosyidin banyak sekali bermunculan mutakallimin yang menguak
tiap-tiap persoalan yang muncul diantara kaum muslimin. Dalam pemahaman
terhadap Al Qur'an dan juga dalam hadits-hadits rosul dilakukan penyelidikan
akal berdasarkan logika berfikir. Dalam tulisan ini kita akan membahas firqoh
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
B. Pengertian
Firqoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
1. Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)
As-Sunnah secara bahasa berasal dari kata:
"sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan", dan
"masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr" artinya
menerangkan (menjelaskan) perkara. As-Sunnah juga mempunyai arti "at-Thariqah"
(jalan/metode/pandangan hidup) dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji
dan tercela. Seperti sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam[1] ,
2. Pengertian
as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Shalallahu'alaihi wassalam dan para
Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun
ketetapan. Pengertian As-Sunah secara istilah yaitu petunjuk yang telah ditempuh
oleh Rasulullah
3. Pengertian Jama'ah
Secara Bahasa (Etimologi)
Jama'ah secara bahasa diambil dari kata
"jama'a" artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan
sebagian lain. Seperti kalimat "jama'tuhu" (saya telah
mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka berkumpul). Dan kata tersebut
berasal dari kata "ijtima'" (perkumpulan), ia lawan kata dari
"tafarruq" (perceraian) dan juga lawan kata dari "furqah"
(perpecahan). Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga
sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Dan jama'ah juga
berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul
‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhiith: (bab: Jama'a).
4. Pengertian Jama'ah
Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka
adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang
yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka
berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan
yang telah ditempuh oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam baik secara
lahir maupun bathin.
Shalallahu'alaihi
wassalam janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan
mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa
yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah
laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Dengan
demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi
Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf ialah
mereka yang mengenalkan Al Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi
Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi shalallahu'alaihi wassalam.
Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Inilah pengertian
yang lebih khusus dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak
termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang
mengikuti keinginan nafsunya, seperti Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah,
Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan
mereka.
Inilah yang
dimaksudkan oleh "Turjumanul Qur'an (juru bicara Al Qu'-an)" yaitu
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu'anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala,
"Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka
yang hitam muram". (Ali Imran: 106).
Beliau berkata,
"Muka yang putih berseri adalah muka Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan muka
yang hitam muram adalah muka ahlil bid'ah dan furqah (perselisihan)."
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz I hal. 390 (QS. Ali Imran: 106)
C. Aliran Dalam Firqoh
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah ialah orang-orang yang menganut I’tikad yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Ajaran I’tikad yang termaktub
dalam Al Qur'an dan Hadits itu, dihimpin dan disusun secara rapi teratur. Adapun
aliaran penyiar faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang
terkenal[2]. yaitu:
1. Aliran Al Asy’ariyah
Aliran ini dinisbatkan
kepada pendirinya yaitu Imam Abul Hasan Ali Bin Ismail Asy’ari. Pada dasarnya kaum Al Asy’ariah adalah aliran
sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub Aqal dan
Naql, antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Atau Asy’ariah bercorak perpaduan
antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Gazali menyebutnya
sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan.
Madzhab Al Asy’ariyah bertumpu pada Al Qur’an dan al Sunnah. Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur. ‘Ittiba’ lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat
bid’ah). Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi,
kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan
oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran
dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada
nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bisa diambil dari
makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di
maksud. Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat Islam melakukan kajian
rasional.
Pada prinsipnya kaum Al Asy’ariyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di
lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal
di dalam naqli (teks agama). akal dan naqli saling membutuhkan. naqli bagaikan
matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita akan bisa meneguhkan
naqli dan membela agama[3].
Sebagaimana diketahui
bahwa perkembangan aliran al Asy’ariyah diidentikkan dengan faham Ahlus Sunnah
wal jama’ah, maka untuk membahas perkembangannya dan pengaruhnya di dunia Islam
pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya sendiri[4]. Diantaranya adalah:
a.
Abu Hasan Al-Asy’ari
a. Abu Bakar Al-Baqillan
b. Imam Al-Haramain
c. Al-Ghazali
d. Al-Syahrastani
e. Fakhr Al-Din Al-Razi
Dalam proses awal
pemikiran ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya al-Asy’ari di
rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba membandingkan
dalil-dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka
menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah.
Adapun pokok-pokok ajaran al-Asy’ariyah yang
dapat kita baca dari berbagai literatur adalah sebagai berikut:
a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Pendapat Al Asy’ariyah tentang ini jelas
berlawanan dengan Mu’tazilah yang meniadakan sifat Tuhan. Pokok-pokok ajaran Al Asy’ariyah, yaitu mengenai Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib
beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang Qadim[5]. Oleh karena kaum Al Asy’ariyah adalah kaum Sifatiyah. Seperti halnya kaum salaf, mereka meneguhkan sifat-sifat
Allah sebagaimana. adanya. Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan
sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu (Maha mengetahui) al-Qudrah
(Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat
Azali (eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan kekuatan
Tuhan untuk berbuat atau tidak berbuat.
b. Kebebasan dalam berkehendak
Dalam pemikiran kebebasan berkehendak,
terdapat dua pendapat yaitu golongan Jabariyah yang fatalistik dan menganut
faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut kebebasan mutlak
dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al Asy’ariyah membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq)
perbuatan manusia, sedang manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib) hanya
Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Karena itulah Al Asy’ariyah dikenal dengan doktrin Kasb (perolehan) kaitannya
dengan perbuatan manusia. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya
mengangkat ujung jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk
dipertanggungjawabkan. Doktrin ini sarana untuk menggambarkan kebebasan
kehendak manusia, sehingga manusia mesti mempertanggungjawabkannya. Juga
sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata.
c. Qadimnya Al Qur’an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al Qur'an
diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan
Zahiriah yang mengatakan bahwa Al Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan
tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi
Al Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu Al Asy’ariyah mengatakan bahwa walaupun Al Qur'an terdiri atas
kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim[6]. Nasution mengatakan bahwa
Al Qur’an bagi Al Asy’ariyah tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan,
sesuai dengan ayat:
Artinya: “Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S.
An-Nahl:40)
d. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk.
Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut Al Asy’ariyah akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan.
Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu, wahyulah yang
mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui
Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu[7]. Jadi pada dasarnya
Asy’ari memberikan porsi besar pada wahyu dibanding dari pada akal.
e. Melihat dan Bertemu Allah pada Hari Akhir
Al Asy’ariyah tidak sependapat dengan kelompok
ortodoks ekstrim terutama zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat
di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di
akhirat. Al Asy’ariyah yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan, kemungkinan ru’yat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya. Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak
memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti
kita), sebab itu mustahil.
f. Muslim yang Melakukan Dosa Besar.
Pandangan Al Asy’ariyah tentang dosa besar,
bahwa orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih
beriman kepada Allah swt dan rasulNya. Ia hanya digolongkan sebagai orang fasik
(durhaka). Tentang dosa besarnya diserahkan kepada Allah swt, apakah akan
diampuni atau tidak[8].
Oleh karena itu Siapa saja kata Al Asy’ariyah yang melakukan dosa besar lalu mati
sebelum bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau
neraka) ada ditangan Allah SWT
g. Keadilan Tuhan
Mengenai keadilan Tuhan sangatlah
bertentangan dengan Mu’tazilah, karena Al Asy’ariyah memakai pendekatan Kemahakuasaan
Tuhan secara mutlak. Jadi Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas
dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan salah jika seandainya Tuhan
memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya.
2. Aliran Al Maturidiyah
Aliran ini dinisabkan
kepada Imam Al Maturidy. Nama lengkapnya Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Abun
Mansur Al Maturidy. Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan
aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari
aliran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya
hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam
sistem teologinya.
Bahkan Muhammad Abduh
mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al Asy’ariyah tidak lebih
dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan
kata-kata (al Khilâf Al Lafdziyu)[9]. Akan tetapi ketika kita
mengkaji lebih dalam aliran Al Asy’ariyah dan Maturidiyah maka
perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri
bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang
terangkum dalam Al Qur’an secara rasional dan logis[10].
Metodologi yang
diterapkan Maturidiyah meletakkan akal dengan porsi besar, sedangkan Al Asy’ariyah lebih berpegang pada naql, sehingga para pengkaji mengklaim bahwa Asyariyah
berada pada titik antara Muktazilah dan Ahlul Fiqh wal Hadist, adapun
Maturidiah barada pada posisi antara Muktazilah dan Al Asy’ariyah. Maka dengan
demikian ada sekte Muktazilah, Ahlul Hadist, ke mudian Muktazilah Maturidiyah
dan Al Muhadtsun Al Asy’ariyah.
Al Maturidiyah
berpendapat bahwa segala sesuatu pasti memiliki value, maka akal tentu dapat
membedaan mana nilai yang baik (good value) atau buruk (bad value) dari sesuatu
itu. Menurut mereka materi itu ada tiga. Pertama, yang mengandung nilai baik
(good value), kedua, mengandung nilai buruk (bad value) dan yang ketiga,
mengandung nilai baik maupun buruk, adapun syariat menjadi penentu utama dalam
menentukan bad value atau good value itu [11]. Karena akal tidak bisa menentukan syariat
agama, yang menentukan syariat agama hanyalah Allah yang Maha Tahu. Pendapat Al Maturidiyah ini tentu berseberangan dengan keyakinan Al Asy’ariyah, menurut mereka
kebenaran itu dengan syariat berupa perintah dan keburukan itu dengan syariat
berupa larangan. Kebaikan adalah suatu kebaikan karena Allah memerintah untuk
melakukannya dan keburukan tetaplah menjadi keburukan karena allah melarang
untuk melakukannya. Dengan demikian maka pendapat Al Maturidiah menengahi pendapat
Muktazilah dan Al Asy’ariyah.
Adapun
pemikiran-pemikiran Al Maturidiyah adalah berikut ini:
a. Kemampuan Akal Manusia
Al Maturidiyah berpendapat bahwa manusia dengan
akalnya mampu mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui kewajibannya untuk
mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan. Selanjutnya Al Maturidiyah berpendapat
bahwa akal manusia dapat mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan.
b. Perbuatan Manusia
Menurut Al Maturidiyah perbuatan manusia adalah
ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam
hal ini, Al Maturidiyah mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan
qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Menurut Al Maturidiyah qudrat Tuhan tidak
sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Al Maturidiyah menetapkan adanya sifat-sifat bagi
Allah dan sifat-sifat itu tidak berbeda dengan dzat Nya (sifat-sifat itu tetap
ada pada dzat dan tidak terlepas dari padanya). Sifat-sifat itu tidak berdiri
sendiri dan tidak pula terlepas dari Dzat. Sifat-sifat itu tidak berdiri
sendiri dan tidak pula terlepas dari dzat karena yang demikian itu akan timbul
adanya sifat yang berbilang yang menyebabkan berbilangnya yang qodim
(eksternal).
e. Ayat-Ayat Tasyhih
Al Maturidiyah berpendapat bahwa ayat-ayat Al Qur'an
mutasyabihat dalam mengartikannya harus ditakwilkan sehingga yang dimaksud
dengan tangan, wajah, mata, kaki Tuhan adalah kekuasaan Nya.
f. Kalam Tuhan (Al Qur'an)
Al Maturidiyah menetapkan bahwa kalamullah itu
berdiri dengan dzat Allah dan ia merupakan sifat dari sifat-sifat yang bersatu
dengan Dzat Allah yang Azali bersama azalinya dzat Allah yang tidak tersusun
dari huruf-huruf dan kalimah, karena huruf dan kalimah itu temporal (hadits),
sedang sesuatu yang temporal itu tidak bisa berdiri dengan azali yang wajib
adanya. Hal yang baru adalah aradh (iuran) dan aradh tidak berdiri dengan dzat
Allah. Maturidi menyifati Al quran dengan baru (Hadits) tetapi tidak
menyifatinya sebagai makhluq.
g. Ru’yatullah
Al Maturidiyah menetapkan bahwa Tuhan bisa dilihat
mata kepala manusia nanti di akhirat, karena ia mempunyai wujud Ru’yatullah
dihari akhirat termasuk perihal kiamat, hanya Allah yang mengetahui perihal
kiamat. Kita ‘kata Al Maturidiyah tidak mengetahuinya kecuali ibarat yang terdapat
dalam nash. Tidak perlu kita menanyakan bagaimana caranya nanti melihat Tuhan
itu.
h. Pelaku Dosa Besar
Al Maturidiyah berpendapat bahwa mukmin yang
melakukan dosa besar itu tidak menjadi kafir karena dosa besarnya. Ia tetap
mukmin yang berdosa. Mukmin yang berdosa besar ia tidak akan kekal di neraka.
Sekiranya Tuhan menyiksa mukmin yang berdosa besar dengan siksaan kekal didalam
neraka, berarti Tuhan menyiksa dengan siksaan yang melebihi ukuran dosanya. Hal
demikian tidak mungkin, mengekalkan siksaan yang berdosa besar berarti
menyamakan siksaan dengan orang kafir, dan menyamakan demikian berarti
menyalahi kebijaksanaan dan keadilan Nya.
i. Pengutusan Rasul
Pandangan Al Maturidiyah tidak jauh beda dengan
pandangan Mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah
umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik
dalam kehidupannya. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa
mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah
membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya
D. Kesimpulan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah suatu golongan
yang telah Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam janjikan akan selamat di
antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us
sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam
masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai
jama'ah kaum Muslimin.
Adapun aliran faham Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah yang terkenal, yaitu:
1. Aliran Al Asy’ariyah
Madzhab Al Asy’ariyah bertumpu pada al-Qur’an dan
al-sunnah. Aliran Al Asy’ariyah berpendapat bahwa makrifat kepada Allah adalah
kewajiban syara’ dan berpendapat bahwa sesuatu itu baik atau buruk, tidak dapat
diketahui akal fikiran tanpa perintah Syari’ (pembuat syara’)
2. Aliran Al Maturidiyah
Metodologi yang diterapkan Al Maturidiyah
meletakkan akal dengan porsi besar, Aliran Al Maturidiyah berpendapat makrifat
kepada Allah adalah kewajiban akal fikiran dan berpendapat bahwa sesuatu itu
baik atau buruk, dapaat diketahui oleh akal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Rozak dan H. Rosihon Anwar., Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,
2014
Abubakar
Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni, Solo: Ramadhani, 1968
Ali
Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996
Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: 1992/1993
Ibrahim, Aliran
dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aska, 1995
Nukman
Abbas, AL-Asy’ari Miastri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, Jakarta:
Erlangga, 2006
Sahilun
A. Nasir, Pengantar IImu Kalam, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1994
[1] Nukman
Abbas, AL-Asy’ari Miastri Perbuatan
Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal .92.
[2] H.
Sahilun A. Nasir, pengantar ilmu kalam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994), hlm .153.
[3]
Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam,
(Jakarta: Bumi Aska, 1995), hlm.66
[4] Ibid.,
hlm .162.
[5]
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di
Indonesia, (Jakarta: 1992/1993), hal. 155.
[6] Prof.
Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag.Prof dan. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014)
Hlm.149
[7] Ali
Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam
Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm.
17.
[8] Abubakar
Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni, (Solo: Ramadhani, 1968). hal. 30.
[9] H.
Sahilun A. Nasir, pengantar ilmu kalam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 169
[10] Ibid.,
hlm. 170
[11] Ibid.,
hlm. 173
Sangat bermanfaat artikelnya mas silahkan beli juga bukunya Disini semoga bermanfaat
BalasHapus