Senin, 23 Oktober 2017

Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Penulis: Azizah F, Annisa, Haris Usmani, Rusminiati
A.  Pendahuluan

Membahas perkembangan ilmu kalam atau pemikiran-pemikiran dalam Islam tentu tidak bisa lepas dari aspek kesejarahan (baik yang bersifat umum  maupun yang bersifat khusus). Kajian terhadap sejarah pemikiran dalam Islam juga tidak bisa lepas dari aspek kebudayaan dalam peradaban. Dalam hal ini kebudayaan dan peradaban dari Arab, mengapa demikian?. Hal ini dikarenakan islam lahir ditengah-tengah kehidupan masyarakat Arab. Apalagi sejarawan sampai kini masih terbiasa bila menyebut kebudayaan Arab, yang dimaksud adalah kebudayaan yang dimulai dengan Islam (lahirnya Islam).

Setelah Rosulullah wafat maka mulai muncullah beberapa pemikiran yang kadang kontroversi antar satu dengan lainnya. Bahkan setelah khulafaur Rosyidin banyak sekali bermunculan mutakallimin yang menguak tiap-tiap persoalan yang muncul diantara kaum muslimin. Dalam pemahaman terhadap Al Qur'an dan juga dalam hadits-hadits rosul dilakukan penyelidikan akal berdasarkan logika berfikir. Dalam tulisan ini kita akan membahas firqoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

B. Pengertian Firqoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

1. Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)
As-Sunnah secara bahasa berasal dari kata: "sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan", dan "masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr" artinya menerangkan (menjelaskan) perkara. As-Sunnah juga mempunyai arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandangan hidup) dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam[1] ,

2. Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Shalallahu'alaihi wassalam dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Pengertian As-Sunah secara istilah yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh Rasulullah

3. Pengertian Jama'ah Secara Bahasa (Etimologi)
Jama'ah secara bahasa diambil dari kata "jama'a" artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat "jama'tuhu" (saya telah mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka berkumpul). Dan kata tersebut berasal dari kata "ijtima'" (perkumpulan), ia lawan kata dari "tafarruq" (perceraian) dan juga lawan kata dari "furqah" (perpecahan). Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Dan jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhiith: (bab: Jama'a).

4. Pengertian Jama'ah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam baik secara lahir maupun bathin.

Shalallahu'alaihi wassalam janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.

Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf   ialah mereka yang mengenalkan Al Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi shalallahu'alaihi wassalam. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.

Inilah pengertian yang lebih khusus   dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya, seperti   Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.

Inilah yang dimaksudkan oleh "Turjumanul Qur'an (juru bicara Al Qu'-an)" yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu'anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala, "Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram". (Ali Imran: 106).
Beliau berkata, "Muka yang putih berseri adalah muka Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan muka yang hitam muram adalah muka ahlil bid'ah dan furqah (perselisihan)." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz I hal. 390 (QS. Ali Imran: 106)

C. Aliran Dalam Firqoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah orang-orang yang menganut I’tikad yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Ajaran I’tikad yang termaktub dalam Al Qur'an dan Hadits itu, dihimpin dan disusun secara rapi teratur. Adapun aliaran penyiar faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah   yang terkenal[2]. yaitu:

1. Aliran Al Asy’ariyah

Aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abul Hasan Ali Bin Ismail Asy’ari.   Pada dasarnya kaum Al Asy’ariah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub Aqal dan Naql, antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Atau Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Gazali menyebutnya sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan.

Madzhab Al Asy’ariyah bertumpu pada Al Qur’an dan al Sunnah. Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.  ‘Ittiba’ lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah). Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bisa diambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud. Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat Islam melakukan kajian rasional.

Pada prinsipnya kaum Al Asy’ariyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naqli (teks agama). akal dan naqli saling membutuhkan. naqli bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita akan bisa meneguhkan naqli dan membela agama[3].

Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan aliran al Asy’ariyah diidentikkan dengan faham Ahlus Sunnah wal jama’ah, maka untuk membahas perkembangannya dan pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya sendiri[4]. Diantaranya adalah:

a.  Abu Hasan Al-Asy’ari
a.   Abu Bakar Al-Baqillan
b.   Imam Al-Haramain
c.   Al-Ghazali
d.   Al-Syahrastani
e.   Fakhr Al-Din Al-Razi

Dalam proses awal pemikiran ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya al-Asy’ari di rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba membandingkan dalil-dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah.

Adapun pokok-pokok ajaran al-Asy’ariyah yang dapat kita baca dari berbagai literatur adalah sebagai berikut:

a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

Pendapat Al Asy’ariyah tentang ini jelas berlawanan dengan Mu’tazilah yang meniadakan sifat Tuhan. Pokok-pokok ajaran Al Asy’ariyah, yaitu mengenai Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang Qadim[5]. Oleh karena kaum Al Asy’ariyah adalah kaum Sifatiyah. Seperti halnya kaum salaf, mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana. adanya. Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu (Maha mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali (eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak berbuat.

b. Kebebasan dalam berkehendak

Dalam pemikiran kebebasan berkehendak, terdapat dua pendapat yaitu golongan Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al Asy’ariyah membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedang manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib) hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Karena itulah Al Asy’ariyah dikenal dengan doktrin Kasb (perolehan) kaitannya dengan perbuatan manusia. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk dipertanggungjawabkan. Doktrin ini sarana untuk menggambarkan kebebasan kehendak manusia, sehingga manusia mesti mempertanggungjawabkannya. Juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata.

c. Qadimnya Al Qur’an

Mu’tazilah mengatakan bahwa Al Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al Asy’ariyah mengatakan bahwa walaupun Al Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim[6]. Nasution mengatakan bahwa Al Qur’an bagi Al Asy’ariyah tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:

Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)

d. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk.

Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut Al Asy’ariyah akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu, wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu[7]. Jadi pada dasarnya Asy’ari memberikan porsi besar pada wahyu dibanding dari pada akal.

e. Melihat dan Bertemu Allah pada Hari Akhir

Al Asy’ariyah tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim terutama zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al Asy’ariyah yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan, kemungkinan ru’yat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil.

f. Muslim yang Melakukan Dosa Besar.

Pandangan Al Asy’ariyah tentang dosa besar, bahwa orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah swt dan rasulNya. Ia hanya digolongkan sebagai orang fasik (durhaka). Tentang dosa besarnya diserahkan kepada Allah swt, apakah akan diampuni atau tidak[8]. Oleh karena itu Siapa saja kata Al Asy’ariyah yang melakukan dosa besar lalu mati sebelum bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT

g. Keadilan Tuhan
Mengenai keadilan Tuhan sangatlah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena Al Asy’ariyah memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Jadi Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya.

2.  Aliran Al Maturidiyah

Aliran ini dinisabkan kepada Imam Al Maturidy. Nama lengkapnya Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Abun Mansur Al Maturidy. Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem teologinya.

Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al Asy’ariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata (al Khilâf Al Lafdziyu)[9]. Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran Al Asy’ariyah dan Maturidiyah maka perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam Al Qur’an secara rasional dan logis[10].

Metodologi yang diterapkan Maturidiyah meletakkan akal dengan porsi besar, sedangkan Al Asy’ariyah lebih berpegang pada naql, sehingga para pengkaji mengklaim bahwa Asyariyah berada pada titik antara Muktazilah dan Ahlul Fiqh wal Hadist, adapun Maturidiah barada pada posisi antara Muktazilah dan Al Asy’ariyah. Maka dengan demikian ada sekte Muktazilah, Ahlul Hadist, ke mudian Muktazilah Maturidiyah dan Al Muhadtsun Al Asy’ariyah.

Al Maturidiyah berpendapat bahwa segala sesuatu pasti memiliki value, maka akal tentu dapat membedaan mana nilai yang baik (good value) atau buruk (bad value) dari sesuatu itu. Menurut mereka materi itu ada tiga. Pertama, yang mengandung nilai baik (good value), kedua, mengandung nilai buruk (bad value) dan yang ketiga, mengandung nilai baik maupun buruk, adapun syariat menjadi penentu utama dalam menentukan bad value atau good value itu [11].  Karena akal tidak bisa menentukan syariat agama, yang menentukan syariat agama hanyalah Allah yang Maha Tahu. Pendapat Al Maturidiyah ini tentu berseberangan dengan keyakinan Al Asy’ariyah, menurut mereka kebenaran itu dengan syariat berupa perintah dan keburukan itu dengan syariat berupa larangan. Kebaikan adalah suatu kebaikan karena Allah memerintah untuk melakukannya dan keburukan tetaplah menjadi keburukan karena allah melarang untuk melakukannya. Dengan demikian maka pendapat Al Maturidiah menengahi pendapat Muktazilah dan Al Asy’ariyah.

Adapun pemikiran-pemikiran Al Maturidiyah adalah berikut ini:

a. Kemampuan Akal Manusia

Al Maturidiyah berpendapat bahwa manusia dengan akalnya mampu mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui kewajibannya untuk mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan. Selanjutnya Al Maturidiyah berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan.

b. Perbuatan Manusia
Menurut Al Maturidiyah perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al Maturidiyah mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Menurut Al Maturidiyah qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.

d. Sifat Tuhan

Al Maturidiyah menetapkan adanya sifat-sifat bagi Allah dan sifat-sifat itu tidak berbeda dengan dzat Nya (sifat-sifat itu tetap ada pada dzat dan tidak terlepas dari padanya). Sifat-sifat itu tidak berdiri sendiri dan tidak pula terlepas dari Dzat. Sifat-sifat itu tidak berdiri sendiri dan tidak pula terlepas dari dzat karena yang demikian itu akan timbul adanya sifat yang berbilang yang menyebabkan berbilangnya yang qodim (eksternal).

e. Ayat-Ayat Tasyhih

Al Maturidiyah berpendapat bahwa ayat-ayat Al Qur'an mutasyabihat dalam mengartikannya harus ditakwilkan sehingga yang dimaksud dengan tangan, wajah, mata, kaki Tuhan adalah kekuasaan Nya.

f. Kalam Tuhan (Al Qur'an)

Al Maturidiyah menetapkan bahwa kalamullah itu berdiri dengan dzat Allah dan ia merupakan sifat dari sifat-sifat yang bersatu dengan Dzat Allah yang Azali bersama azalinya dzat Allah yang tidak tersusun dari huruf-huruf dan kalimah, karena huruf dan kalimah itu temporal (hadits), sedang sesuatu yang temporal itu tidak bisa berdiri dengan azali yang wajib adanya. Hal yang baru adalah aradh (iuran) dan aradh tidak berdiri dengan dzat Allah. Maturidi menyifati Al quran dengan baru (Hadits) tetapi tidak menyifatinya sebagai makhluq.

g. Ru’yatullah

Al Maturidiyah menetapkan bahwa Tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di akhirat, karena ia mempunyai wujud Ru’yatullah dihari akhirat termasuk perihal kiamat, hanya Allah yang mengetahui perihal kiamat. Kita ‘kata Al Maturidiyah tidak mengetahuinya kecuali ibarat yang terdapat dalam nash. Tidak perlu kita menanyakan bagaimana caranya nanti melihat Tuhan itu.

h. Pelaku Dosa Besar

Al Maturidiyah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu tidak menjadi kafir karena dosa besarnya. Ia tetap mukmin yang berdosa. Mukmin yang berdosa besar ia tidak akan kekal di neraka. Sekiranya Tuhan menyiksa mukmin yang berdosa besar dengan siksaan kekal didalam neraka, berarti Tuhan menyiksa dengan siksaan yang melebihi ukuran dosanya. Hal demikian tidak mungkin, mengekalkan siksaan yang berdosa besar berarti menyamakan siksaan dengan orang kafir, dan menyamakan demikian berarti menyalahi kebijaksanaan dan keadilan Nya.

i. Pengutusan Rasul

Pandangan Al Maturidiyah tidak jauh beda dengan pandangan Mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya
           

D. Kesimpulan

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.

Adapun aliran faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terkenal, yaitu:

1. Aliran Al Asy’ariyah
Madzhab Al Asy’ariyah bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah. Aliran Al Asy’ariyah berpendapat bahwa makrifat kepada Allah adalah kewajiban syara’ dan berpendapat bahwa sesuatu itu baik atau buruk, tidak dapat diketahui akal fikiran tanpa perintah Syari’ (pembuat syara’)

2. Aliran Al Maturidiyah
Metodologi yang diterapkan Al Maturidiyah meletakkan akal dengan porsi besar, Aliran Al Maturidiyah berpendapat makrifat kepada Allah adalah kewajiban akal fikiran dan berpendapat bahwa sesuatu itu baik atau buruk, dapaat diketahui oleh akal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak dan H. Rosihon Anwar., Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2014

Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni,  Solo: Ramadhani, 1968

Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: 1992/1993

Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aska, 1995

Nukman Abbas, AL-Asy’ari Miastri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, Jakarta: Erlangga, 2006


Sahilun A. Nasir,  Pengantar  IImu Kalam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994



[1] Nukman Abbas, AL-Asy’ari Miastri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal .92.
[2] H. Sahilun A. Nasir, pengantar ilmu kalam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm .153.
[3] Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aska, 1995), hlm.66
[4] Ibid., hlm .162.
[5] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: 1992/1993), hal. 155.
[6] Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag.Prof dan. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014) Hlm.149
[7] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 17.
[8] Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni,  (Solo: Ramadhani, 1968). hal. 30.
[9] H. Sahilun A. Nasir, pengantar ilmu kalam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 169
[10] Ibid., hlm. 170
[11] Ibid., hlm. 173

1 komentar:

  1. Sangat bermanfaat artikelnya mas silahkan beli juga bukunya Disini semoga bermanfaat

    BalasHapus