Penulis: Azizah F, Ermawati, Yayu Sri Wahyu Ningsih
A. Pendahuluan
Hadits mempunyai kedudukan tinggi dalam syari’at Islam. ke
dua setelah Al Qur’an. hadits Nabi adalah sumber
hukum Islam yang ke dua setelah Al-Qur’an, dan umat Islam wajib melaksanakan
isinya. Mengikuti hadits adalah seperti
megikuti Al Qur’an karena pada dasarnya kedua-duanya sama-sama berasal dari
wahyu Allah.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits/sunnah Nabi
itu merupakan salah satu sumber hukum Islam. Banyak ayat yang mewajibkan umat Islam
untuk mengikuti Rasulullah SAW dengan cara melaksanakan perintah-perintahnya
dan menjauhi menjauhi segala larangannya. Allah berfirman dalam Surat Ali Imron
ayat 132
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ
وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٣٢
Artinya :
“Dan taatilah Allah dan
Rasul, supaya kamu diberi rahmat” (Ali Imron:132)
Sekali-kali Tuhan tidak membenarkan
para umat menyalahi Rasulullah SAW, menyalahi hukumnya dan suruhannya. Allah
berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا
مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ
ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ
ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Q.S
Al-Ahzab : 36)
Berdasar ayat-ayat di atas maka orang yang beriman tidak
hanya harus berpedoman dan mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur’an, tetapi ia juga
harus berpedoman dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Dan
menjauhi apa yang dilarang olehnya.
Ada perbedaan dimana Al Qur’an
sejak turunnya sudah diperintah Nabi untuk menulis dan menghafal sedang hadits
tidak maka konsekuensi pengakuan dan penetapan hadits sebagai dasar tasyri’ yang kedua adalah berupa persyaratan yang cukup ketat dalam penerimaan
hadits. Di samping mereka meneliti materi hadits itu para ulama juga menetapkan syarat-syarat berupa sifat yang harus ada pada orang yang
meriwayatkan hadits. Sifat tersebut adalah: 1) Adil, 2) Dhobith.
Yang dimaksud dengan rowi dalam ulumul hadits
adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad saw. Seorang rowi itu
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah,
karena apabila seorang rowi itu tidak memiliki syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh para ulama’ hadits, maka hadits yang disampaikannya tidak
diterima atau ditolak.
B. Pengertian Adil
Kata rowi atau ar-rowi berarti orang yang
meriwayatkan atau memberikan hadits. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang
menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki
maupun perempuan. [1]
Para ulama menetapkan
syarat-syarat berupa sifat yang harus
ada pada orang yang meriwayatkan hadits, sifat tersebut adalah keadilan dan kedhobithannya.
Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedangkan kedhobithan berhubungan
dengan kapasitas intelektual.
Kata adil dalam kamus besar
Bahasa Indonesia berarti; tidak berat
sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya;
tidak sewenang-wenang. Namun kata
adil dalam ilmu hadits bukanlah seperti pengertian umum. Adil yakni wadha’a kulla syaiin fī maẖallihi atau
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.[2]
Menurut Khatib Al Baghdadi, adil adalah menuruti segala fardlu, tetap mengerjakan yang
diperintahkan, menjauhi larangan dan menjauhi segala kekejian selalu
mencari mana yang benar dan yang
wajib dalam segala permuatannya dan muamalahnya dan terus memelihara diri dari
segala yang menciderakan agama dan muru’ahnya.[3]
Ia merupakan sifat yang
tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan
memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya.
Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, juga sebagian dosa kecil, seperti
mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makan, serta menjauhi
perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di
jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu
berlebihan dalam berkelakar.[4]
Menurut Ibnu Sam’ani orang yang adil harus memenuhi syarat empat yaitu:
1. Selalu
melihat perbuatan taat dan menjauhi perbuatan
maksiat
2. Menjauhi
dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
3. Tidak
melakukan hal-hal mubah yang dapat menggugurkan
iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan
4. Tidak
mengikuti pendapat salah satu mahdzab yang bertentangan dengan syara’
Sebagaian ulama menetapkan
bahwa orang yang adil adalah orang yang
padanya terkumpul beberapa ketentuan, yaitu :
1. Islam
2. Baligh/sudah
mukalaf
3. Sejahtera
dari sebab-sebab kefasahan dan yang merusak muru’ah
Dalam
persoalan periwayatan tidak diharuskan laki-laki, juga tidak diharuskan
merdeka, jadi boleh wanita juga boleh budak sahaya. Penetapan mukalaf (baligh)
sebagai syarat rowi tidaklah berarti bahwa seorang rowi tidak boleh
meriwayatkan hadits yang pernah dia
dengar sewaktu dia masih anak-anak. Dalam periwayatan rowi terhadap hadits yang
dia dengar ketika masih anak-anak terjadi perbedaan pendapat para ulama.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa pendengaran anak diperbolehkan (perowi mendengar hadits tersebut ketika
masih anak-anak, berarti belum mukalaf).
Adapun sebagaian ulama berpendapat tidak sahnya
periwayatan hadits oleh rowi yang
ketika mendengar hadits itu masih anak-anak.
Dalam
hal ini kita lebih menguatkan pendapat jumhur
mengingat para sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka menerima para riwayat sahabat yang ketika
menerima hadits masih berusia sangat
muda, seperti Al Hasan, Al Husain, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah
bin Abbas dan yang lain-lain tanpa mempersoalkan apakah mereka itu menerima hadits
ketika masih anak-anak atau sudah baligh.
Namun
demikian jumhur ulama tidak satu kata tentang usia belum baligh tersebut. Hal
ini tergantung dari sudah atau belumnya si anak sampai kepada tamyiz, mampu
membedakan yang benar dan yang tidak.
Kalau
kita perhatikan pendapat jumhur dan beberapa riwayat akan kita dapati:
1. Ketika
menerima hadits perowi tersebut paling sedikit berusia lima tahun. Dasar
pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhori dari sahabat Ma’hmud bin Robi’.
2. Pendapat
Al Hafidz Musa bin Harun Al Muhammad bahwa pendengaran anak itu sudah dianggap
sah kalau dia sudah dapat membedakan antara khimar dan sapi.
Pendapat
ini adalah penjelasan arti tamyiz.
Umumnya kemampuan untuk memahami suatu pembicaraan
dan memberikan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan adalah pada
usia tamyiz. Demikian pendapat para ulama Mutaqoddimin.
Apabila kita perhatikan
pendapat ulama yang memegangi pendengaran anak-anak ternyata kuncinya adalah
tamyiz dan kemampuan hafalannya. Apabila telah mampu memahami pembicaraan dan
memberikan jawaban yang diajukan kepadanya, maka dia telah tamyiz dan dapat
dipegangi pendengarannya.
C. Mengetahui Keadilan Seseorang
Keadilan seseorang diketahui
dengan:
1. Dia
sudah dikenal masyarakat dan diantara para ahli ilmu bahwa dia adalah orang
yang adil, seperti Imam Malik bin Anas, Sufyan Ats Sauri, Syu’bah bin Al
Hajjaj, Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya tidak perlu dipertanyakan lagi keadilan mereka, karena
mereka sudah terkenal sebagai orang Adil.
2. Dengan
persaksian orang yang sudah terkenal keadilannya terhadap orang yang belum terkenal.
Semua ulama dapat menerima
persaksian keadilan rowi oleh dua orang. Akan tetapi mereka berbeda pendapat
apabila persaksian itu hanya diberikan oleh satu orang saja.
Dalam hal ini jumhur ulama
berpendapat bahwa persaksian keadilan itu harus diberikan oleh dua orang.
Mereka mengkiaskan masalah ini dengan sahadah (saksi). Akan tetapi sebenarnya
kesaksian keadilan rowi itu cukup hanya seorang saja, karena dalam peberimaan hadits
tidak disyaratkan periwayatannya oleh dua orang. OLeh karena itu kesaksian itu
cukup dengan satu orang saja, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau
budak , asal dia orang yang cukup tahu tentang hal-hal yang padanya dibutuhkan
keadilan seseorang, dan mengetahui pula hal-hal yang harus dijauhkan dari
sifat-sifat yang merusak keadilan itu.
D. Pengertian Dhobith
Pengertian dhobith menurut
bahasa dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan
sempurna. Sedangkan pengertian dhobith menurut istilah ialah orang yang
memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik
apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja
ia kehendaki. Maksudnya seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia
meriwayatkan dari hafalannya dan memahami tulisannya dari adanya perubahan,
penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.[5]
Dhobith adalah kekuatan ingatan
rowi atas sesuatu yang telah diterimanya dan kepahamannya terhadap apa yang dia
dengar. Kekuatan ingatan sama dengan
antara ketika dia menerima hadits dan waktu dia menyampaikan hadits itu. Jadi
kapan saja dia sanggup menyampaikan sesuatu persis dengan yang ketia dia dengar
, meskipun hanya dalam maknanya dia dikatakan
dhobith (kuat ingatannya).[6]
E. Mengetahui Kedhobithan Seseorang
Karena bentuk kedhobithan para
periwayat yang dinyatakan bersifat dhobith tidak sama, maka dhobith terbagi dua
istilah, yaitu:
1. Istilah
dhobith diperuntukkan bagi periwayat yang:
a.
Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
b.
Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain.
2. Istilah
tamm dhobith yang bila diindonesiakan
dapat dipakai istilah dhobith plus, diperuntukkan bagi periwayat yang:
a.
Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya;
b.
Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepda orang lain;
c.
Faham dengan baik hadits yang dihafalnya itu.[7]
Kedoabithan yang dibahas di
atas termasuk dalam kategori dhabith shadr. Selain itu ada lagi kedhabithan
yang lain yaitu, dhabith kitab. Yang dimaksud dengan periwayat dhabith kitab
ialah periwayat yang ada padanya; apabila ada kesalahan tulisan dalam kitab,
dia mengetahui letak kesalahannya.
Kedhobithan seseorang diketahui
dengan:
1. Membandingkan
riwayatnya dengan riwayat orang lain yang terkenal kepercayaan, keadilan,
ingatan dan hafalannya.
2. Jika
kenyataan menunjukkan bahwa penyesuaian riwayatnya orang-orang tersebut cukup
kuat sedang perbedaannya sedikit, maka yakinlah kita bahwa rowi itu seorang
yang dhobith.
F. Orang-Orang Yang Ditolak Riwayatnya
Sifat yang menggugurkan sifat
keadilan seseorang adalah:[8]
1. Dusta
Maksud
dusta adalah bahwa orang tersebut telah pernah membuat hadits maudlu’/ palsu
(mengakukan suatu ucapan perbuatan sebagai dari Nabi, padahal kenyataannya itu
bukan ucapan atau perbutan Nabi.
Orang
yang diketahui pernah berdusta membuat hadits maudhu’ meskipun hanya sekali
seumur hidupnya, tidak dapat diterima
riwayatnya meskipun dia sudah bertaubat.
Riwayah
jama’ah dari Abu Hurairoh, Rasulullah bersabda:
Meskipun
para ulama tidak sepakat tentang kekafiran seseorang yang telah berdusta atas
nama Nabi (membuat hadits maudlu’), juga mereka tidak sepakat diterima atau
tidaknya taubatnya, namun mereka sepakat bahwa orang yang pernah berdusta atas
nama Rasul tidak boleh diterima haditsnya, dan bahwa perbuatan itu termasuk
dosa besar.
2. Tertuduh
dusta
Yang
dimaksud tertuduh dusta adalah bahwa rowi itu terkenal sebagai orang yang biasa
berdusta dalam pembicaraannya, tapi belum bisa di buktikan bahwa dia pernah
berdusta dalam periwayatan hadits.
Orang
yang tertuduh dusta ini, jika benar-benar bertaubat maka hadits riwayatnya bisa diterima.
3. Fasik
Maksud
fasik adalah fasik (melanggar ketentuan agama) dalam hal amal. Yaitu perbuatan
yang berasal dari agama dan bukan penyelewengan I’tiqod, sebab penyelewengan
I’tiqod termasuk kedalam pengertian penganut bid’ah.
Dusta
sebenarnya termasuk kedalam orang yang fasik, tetapi ulama hadits membedakan
nya dan menempatkannya pada cacat yang
lebih tinggi , karena cacat yang disebabkan oleh dusta lebih jelas dan nyata
untuk dijadikan dasar menolak hadits.
4. Tidak
dikenal
Tidak
dikenal adalah seorang rowi yang
pribadinya tidak di kenal oleh para ahli hadits.
Tidak
dikenal ini dijadikan dasar untuk menolak hadits dari seorang rowi adalah
disebabkan bahwa untuk diterimanya suatu
riwayat hadits harus diketahui bahwa
rowinya orang yang adil dan Dhobith. Jadi
misalnya kalau disebutkan “diriwayatkan kepadaku oleh seseorang” atau “
diceritakan kepadaku oleh orang yang
adil”, riwayat itu tidak bisa di terima karena orang yang tidak disebutkan itu tidak diketahui.
5. Penganut
bid’ah
Yang di
maksud penganut bid’ah adalah seseorang
yang mempunyai I’tiqod (kepercayaan) yang menyalahi agama, menyalahi Al Qur’an
dan Al Hadits, dengan tidak sengaja baik
karena samar atau salah pengertian.
Kalau kepercayaan atau I’tiqod yang
menyalahi agama dia lakukan dengan
sengaja , maka tidak di sebut sebagai penganut
bid’ah tetapi disebut kafir.
Hadits
yang diriwayatkan oleh ahli Bid’ah di tolak. Menurut jumhur ulama. Sebagian
ahli hadits berpendapat jika orang yang meriwayatkan hadits adalah orang yang
jujur dan adil, maka haditsnya diterima. Sebagian lagi berpendapat jika
bid’ahnya itu berupa pengingkaran terhadap Sesutu hukum yang sudah mutawatir
bahwa itu berasal dari agama maka barulah haditsnya ditolak, jika tidak
demikian maka haditsnya diterima.
Menurut
Al Khafid Ibnu Katsir yang menukil pendapat Imam Syafi’I bahwa dalam masalah
ini telah lama terjadi perselisihan pendapat. Menurut pendapat kebanyakan ulama
hal ini harus dipisahkan antara seseorang yang mengajak manusia kepada bid’ahnya dengan yang tidak
mengajak.
Sifat yang menggugurkan sifat
ke dhobithan seseorang adalah:[9]
1. Lengah
dalam menerima hadits
Maksud
lengah menerima hadits adalah banyak kesalahan dalam menerima hadits.
Penangkapan
seorang perowi dalam menerima hadits tidak boleh salah, meskipun hanya
maknanya. Karena kesalahan penerimaan ini
merupakan cacat yang tertolaknya hadits.
Maksud
banyak keliru adalah dia sering
melakukan kekeliruan dalam menyampaikan hadits.
2. Banyak
salah dalam meriwayatkan hadits
Maksud
menyalahi orang kepercayaan adalah riwayatnya
baik mengenai matan maupun sanad hadits
menyalahi (berbeda) dengan riwayat orang-orang kepercayaan.
3. Menyalahi
orang-orang kepercayaan
Menyalahi
orang keoercayaan ini dikategorikan kedalam
persoalan ke Dhobitan seorang rowi, karena kekeliruan itu mempunyai
ingatan yang tidak kuat.
4. Banyak
sangka
Banyak
sangka maksudnya adalah rowi itu tidak yakin betul pada apa yang diriwayatkannya.
5. Hafalannya
tidak baik
Maksud
hafalannya kurang baik adalah bahwa salahnya lebih banyak dari pada benarnya.
Keburukan
hafalan terjadi karena suatu sebab,
misalnya karena sudah tua atau tuli dan sebagainya maka haditsnya dinamai hadits
Mukhtalith.
G. Kesimpulan
1. Adil merupakan sifat yang
tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan
memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya.
Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi
timbangan sebiji, mencuri sesuap makan, serta menjauhi perkara-perkara mubah
yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di
jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar
2. Syarat adil: a. beragama
Islam, b. baligh/mukalaf, d. sejahtera dari sebab-sebab kefasahan dan yang
merusak muru’ah
3. Dhobith ialah orang yang
memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik
apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja
ia kehendaki. Maksudnya seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia
meriwayatkan dari hafalannya dan memahami tulisannya dari adanya perubahan,
penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
4. Syarat dhobith: a. hafal dengan sempurna hadits yang
diterimanya, b. mampu menyampaikan
dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepda orang lain, c. faham dengan baik
hadits yang dihafalnya itu, d. mampu
mengetahui kesalahan tulisan dalam kitab.
5. Orang-orang yang ditolak
riwayatnya, yaitu memiliki sifat yang
menggugurkan sifat keadilan seseorang adalah: a.dusta, b. tertuduh dusta, c.
fasik, d. tidak dikenal, e. penganut bid’ah. Sedang sifat yang menggugurkan
sifat ke Dhobitan seseorang adalah: a. lengah dalam menerima hadits, b. banyak
salah dalam meriwayatkan hadits c. menyalahi orang-orang kepercayaan, d. banyak
sangka, e. hafalannya tidak baik
H. Saran
Disarankan agar kita jika menyampaikan hadits ataupun melaksanakan
perintah dalam hadits untuk mengetahui hadits yang shahih yaitu sebuah hadits
yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit
dari rawi yang lain (juga) adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu
tidak janggal serta tidak mengandung cacat (‘Illat).
Daftar Pustaka
Muhammad
‘Ajaj al-Khathib, 2007. Ushul al-Alhadits,
Penerjm, H.M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits,
Jakarta, Gaya Media Pratama.
Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor :
Ghalia Indonesia
Saeful
Hadi, 2000. Ulumul Hadits,
Yogyakarta: Sabda Media
Syuhudi
Ismail, M. 1987. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung:
Angkasa
Syuhudi
Ismail, M. 1997. Kaedah Kesahihan Sanad
Hadits. Jakarta: Bulan Bintang
[2] Syuhudi
Ismail, M. 1987. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung:
Angkasa. hal 179
[3] Saeful
Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Yogyakarta:
Sabda Media. hal. 104
[4]
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, 2007. Ushul
al-Alhadits, Penerjm, H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu
Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama. hal 203
[5] Syuhudi
Ismail, M. Pengantar Ilmu Hadits, Op.
Cit., hal 179
[6] Saeful
Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Op Cit.
hal. 104
[7] Syuhudi
Ismail, M. 1997. Kaedah Kesahihan Sanad
Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. hal: 135-138
[8] Saeful
Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Op Cit.
hal. 104
[9] Saeful
Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Op Cit.
hal. 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar