Selasa, 24 Oktober 2017

SYARAT-SYARAT ROWI

Penulis: Azizah F, Ermawati, Yayu Sri Wahyu Ningsih

A.  Pendahuluan

Hadits mempunyai kedudukan tinggi dalam syari’at Islam. ke dua setelah Al Qur’an. hadits Nabi adalah sumber hukum Islam yang ke dua setelah Al-Qur’an, dan umat Islam wajib melaksanakan isinya. Mengikuti hadits adalah seperti megikuti Al Qur’an karena pada dasarnya kedua-duanya sama-sama berasal dari wahyu Allah.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits/sunnah Nabi itu merupakan salah satu sumber hukum Islam. Banyak ayat yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti Rasulullah SAW dengan cara melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi menjauhi segala larangannya. Allah berfirman dalam Surat Ali Imron ayat 132

 وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٣٢ 
Artinya :
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat” (Ali Imron:132)
Sekali-kali Tuhan tidak membenarkan para umat menyalahi Rasulullah SAW, menyalahi hukumnya dan suruhannya. Allah berfirman :


وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦

Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Q.S Al-Ahzab : 36)

Berdasar ayat-ayat di atas maka orang yang beriman tidak hanya harus berpedoman dan mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur’an, tetapi ia juga harus berpedoman dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Dan menjauhi apa yang dilarang olehnya.

Ada perbedaan dimana Al Qur’an sejak turunnya sudah diperintah Nabi untuk menulis dan menghafal sedang hadits tidak maka  konsekuensi  pengakuan dan penetapan hadits sebagai  dasar tasyri’ yang kedua adalah berupa  persyaratan yang cukup ketat dalam penerimaan hadits. Di samping mereka meneliti materi hadits itu  para ulama juga menetapkan syarat-syarat  berupa sifat yang harus ada pada orang yang meriwayatkan hadits. Sifat tersebut adalah: 1) Adil, 2) Dhobith.

Yang dimaksud dengan rowi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad saw. Seorang rowi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rowi itu tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan  oleh para ulama’ hadits, maka hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.

B. Pengertian Adil

Kata rowi atau ar-rowi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. [1]

Para ulama menetapkan syarat-syarat  berupa sifat yang harus ada pada orang yang meriwayatkan hadits, sifat tersebut adalah keadilan dan kedhobithannya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedangkan kedhobithan berhubungan dengan kapasitas intelektual.

Kata adil dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti;  tidak berat sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya;  tidak sewenang-wenang.  Namun kata adil dalam ilmu hadits bukanlah seperti pengertian umum. Adil yakni wadha’a kulla syaiin fī maẖallihi atau meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.[2]

Menurut  Khatib Al Baghdadi, adil adalah menuruti  segala fardlu, tetap mengerjakan yang diperintahkan, menjauhi larangan dan menjauhi segala kekejian  selalu  mencari mana yang benar  dan yang wajib dalam segala permuatannya dan muamalahnya dan terus memelihara diri dari segala yang menciderakan agama dan muru’ahnya.[3]
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.[4]

Menurut Ibnu Sam’ani  orang yang adil harus memenuhi  syarat empat yaitu:
1. Selalu melihat perbuatan taat dan menjauhi perbuatan  maksiat
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
3. Tidak melakukan hal-hal mubah yang dapat menggugurkan  iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu mahdzab yang bertentangan dengan syara’

Sebagaian ulama menetapkan bahwa  orang yang adil adalah orang yang padanya  terkumpul  beberapa ketentuan, yaitu :

1. Islam
2. Baligh/sudah mukalaf
3. Sejahtera dari sebab-sebab kefasahan dan yang merusak muru’ah

Dalam persoalan periwayatan tidak diharuskan laki-laki, juga tidak diharuskan merdeka, jadi boleh wanita juga boleh budak sahaya. Penetapan mukalaf (baligh) sebagai syarat rowi tidaklah berarti bahwa seorang rowi tidak boleh meriwayatkan hadits yang  pernah dia dengar sewaktu dia masih anak-anak. Dalam periwayatan rowi terhadap hadits yang dia dengar  ketika masih anak-anak  terjadi perbedaan  pendapat para ulama.

Jumhur ulama berpendapat bahwa pendengaran anak diperbolehkan  (perowi mendengar hadits tersebut ketika masih anak-anak, berarti  belum mukalaf).
Adapun  sebagaian ulama berpendapat  tidak sahnya  periwayatan  hadits oleh rowi yang ketika mendengar hadits itu masih anak-anak.
Dalam hal ini kita lebih menguatkan pendapat jumhur  mengingat para sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka  menerima para riwayat sahabat yang ketika menerima hadits  masih berusia sangat muda, seperti Al Hasan, Al Husain, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas dan yang lain-lain tanpa mempersoalkan apakah mereka itu menerima hadits ketika masih anak-anak atau sudah baligh.
Namun demikian jumhur ulama tidak satu kata tentang usia belum baligh tersebut. Hal ini tergantung dari sudah atau belumnya si anak sampai kepada tamyiz, mampu membedakan yang benar dan yang tidak.

Kalau kita perhatikan pendapat jumhur dan beberapa riwayat akan kita dapati:
1. Ketika menerima hadits perowi tersebut paling sedikit berusia lima tahun. Dasar pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhori dari sahabat Ma’hmud bin Robi’.
2. Pendapat Al Hafidz Musa bin Harun Al Muhammad bahwa pendengaran anak itu sudah dianggap sah kalau dia sudah dapat membedakan antara khimar dan sapi.

Pendapat ini adalah penjelasan arti tamyiz.
Umumnya  kemampuan untuk memahami suatu pembicaraan dan memberikan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan adalah pada usia tamyiz. Demikian pendapat para ulama Mutaqoddimin.

Apabila kita perhatikan pendapat ulama yang memegangi pendengaran anak-anak ternyata kuncinya adalah tamyiz dan kemampuan hafalannya. Apabila telah mampu memahami pembicaraan dan memberikan jawaban yang diajukan kepadanya, maka dia telah tamyiz dan dapat dipegangi  pendengarannya.

C. Mengetahui Keadilan Seseorang

Keadilan seseorang diketahui dengan:

1. Dia sudah dikenal masyarakat dan diantara para ahli ilmu bahwa dia adalah orang yang adil, seperti Imam Malik bin Anas, Sufyan Ats Sauri, Syu’bah bin Al Hajjaj, Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya tidak perlu  dipertanyakan lagi keadilan mereka, karena mereka sudah terkenal sebagai orang Adil.

2. Dengan persaksian orang yang sudah terkenal keadilannya  terhadap orang yang belum terkenal.

Semua ulama dapat menerima persaksian keadilan rowi oleh dua orang. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apabila persaksian itu hanya diberikan oleh satu orang saja.

Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa persaksian keadilan itu harus diberikan oleh dua orang. Mereka mengkiaskan masalah ini dengan sahadah (saksi). Akan tetapi sebenarnya kesaksian keadilan rowi itu cukup hanya seorang saja, karena dalam peberimaan hadits tidak disyaratkan periwayatannya oleh dua orang. OLeh karena itu kesaksian itu cukup dengan satu orang saja, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau budak , asal dia orang yang cukup tahu tentang hal-hal yang padanya dibutuhkan keadilan seseorang, dan mengetahui pula hal-hal yang harus dijauhkan dari sifat-sifat yang merusak keadilan itu.

D. Pengertian Dhobith

Pengertian dhobith menurut bahasa dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan pengertian dhobith menurut istilah ialah orang yang memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki. Maksudnya seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.[5]

Dhobith adalah kekuatan ingatan rowi atas sesuatu yang telah diterimanya dan kepahamannya terhadap apa yang dia dengar. Kekuatan ingatan sama dengan antara ketika dia menerima hadits dan waktu dia menyampaikan hadits itu. Jadi kapan saja dia sanggup menyampaikan sesuatu persis dengan yang ketia dia dengar , meskipun hanya dalam maknanya dia dikatakan  dhobith (kuat ingatannya).[6]

E. Mengetahui Kedhobithan Seseorang

Karena bentuk kedhobithan para periwayat yang dinyatakan bersifat dhobith tidak sama, maka dhobith terbagi dua istilah, yaitu:
1. Istilah dhobith diperuntukkan bagi periwayat yang:
a. Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
b. Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain.

2. Istilah tamm dhobith yang bila diindonesiakan dapat dipakai istilah dhobith plus, diperuntukkan bagi periwayat yang:
a. Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya;
b. Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepda orang lain;
c. Faham dengan baik hadits yang dihafalnya itu.[7]

Kedoabithan yang dibahas di atas termasuk dalam kategori dhabith shadr. Selain itu ada lagi kedhabithan yang lain yaitu, dhabith kitab. Yang dimaksud dengan periwayat dhabith kitab ialah periwayat yang ada padanya; apabila ada kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya.

Kedhobithan seseorang diketahui dengan:
1. Membandingkan riwayatnya dengan riwayat orang lain yang terkenal kepercayaan, keadilan, ingatan dan hafalannya.
2. Jika kenyataan menunjukkan bahwa penyesuaian riwayatnya orang-orang tersebut cukup kuat sedang perbedaannya sedikit, maka yakinlah kita bahwa rowi itu seorang yang dhobith.

F. Orang-Orang Yang Ditolak Riwayatnya

Sifat yang menggugurkan sifat keadilan seseorang adalah:[8]
1. Dusta
Maksud dusta adalah bahwa orang tersebut telah pernah membuat hadits maudlu’/ palsu (mengakukan suatu ucapan perbuatan sebagai dari Nabi, padahal kenyataannya itu bukan ucapan atau perbutan Nabi.

Orang yang diketahui pernah berdusta membuat hadits maudhu’ meskipun hanya sekali seumur hidupnya, tidak  dapat diterima riwayatnya meskipun dia sudah bertaubat.
Riwayah jama’ah dari Abu Hurairoh, Rasulullah bersabda:
Meskipun para ulama tidak sepakat tentang kekafiran seseorang yang telah berdusta atas nama Nabi (membuat hadits maudlu’), juga mereka tidak sepakat diterima atau tidaknya taubatnya, namun mereka sepakat bahwa orang yang pernah berdusta atas nama Rasul tidak boleh diterima haditsnya, dan bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar.

2. Tertuduh dusta
Yang dimaksud tertuduh dusta adalah bahwa rowi itu terkenal sebagai orang yang biasa berdusta dalam pembicaraannya, tapi belum bisa di buktikan bahwa dia pernah berdusta dalam periwayatan hadits.
Orang yang tertuduh dusta ini, jika benar-benar bertaubat  maka hadits riwayatnya bisa diterima.

3. Fasik
Maksud fasik adalah fasik (melanggar ketentuan agama) dalam hal amal. Yaitu perbuatan yang berasal dari agama dan bukan penyelewengan I’tiqod, sebab penyelewengan I’tiqod termasuk kedalam pengertian penganut bid’ah.
Dusta sebenarnya termasuk kedalam orang yang fasik, tetapi ulama hadits membedakan nya dan menempatkannya  pada cacat yang lebih tinggi , karena cacat yang disebabkan oleh dusta lebih jelas dan nyata untuk dijadikan dasar menolak hadits.

4. Tidak dikenal
Tidak dikenal adalah seorang rowi  yang pribadinya tidak di kenal oleh para ahli hadits.
Tidak dikenal ini  dijadikan dasar untuk  menolak hadits dari seorang rowi adalah disebabkan  bahwa untuk diterimanya suatu riwayat hadits harus diketahui  bahwa rowinya orang yang  adil dan Dhobith. Jadi misalnya kalau disebutkan “diriwayatkan kepadaku oleh seseorang” atau “ diceritakan kepadaku  oleh orang yang adil”, riwayat itu tidak bisa di terima karena orang yang tidak disebutkan  itu tidak diketahui.

5. Penganut bid’ah
Yang di maksud penganut bid’ah adalah  seseorang yang mempunyai I’tiqod (kepercayaan) yang menyalahi agama, menyalahi Al Qur’an dan Al Hadits, dengan tidak sengaja  baik karena samar  atau salah pengertian. Kalau kepercayaan  atau I’tiqod yang menyalahi agama  dia lakukan dengan sengaja , maka tidak di sebut  sebagai penganut bid’ah tetapi disebut kafir.

Hadits yang diriwayatkan oleh ahli Bid’ah di tolak. Menurut jumhur ulama. Sebagian ahli hadits berpendapat jika orang yang meriwayatkan hadits adalah orang yang jujur dan adil, maka haditsnya diterima. Sebagian lagi berpendapat jika bid’ahnya itu berupa pengingkaran terhadap Sesutu hukum yang sudah mutawatir bahwa itu berasal dari agama maka barulah haditsnya ditolak, jika tidak demikian maka haditsnya diterima.
Menurut Al Khafid Ibnu Katsir yang menukil pendapat Imam Syafi’I bahwa dalam masalah ini telah lama terjadi perselisihan pendapat. Menurut pendapat kebanyakan  ulama  hal ini harus dipisahkan antara seseorang yang mengajak  manusia kepada bid’ahnya dengan yang tidak mengajak.

Sifat yang menggugurkan sifat ke dhobithan seseorang adalah:[9]
1. Lengah dalam menerima hadits
Maksud lengah menerima hadits adalah banyak kesalahan dalam menerima hadits.
Penangkapan seorang perowi dalam menerima hadits tidak boleh salah, meskipun hanya maknanya. Karena kesalahan penerimaan ini  merupakan cacat yang tertolaknya hadits.
Maksud banyak  keliru adalah dia sering melakukan kekeliruan dalam menyampaikan hadits.

2. Banyak salah dalam meriwayatkan hadits
Maksud menyalahi orang kepercayaan adalah riwayatnya  baik mengenai  matan maupun sanad hadits menyalahi (berbeda) dengan riwayat orang-orang kepercayaan.

3. Menyalahi orang-orang kepercayaan
Menyalahi orang keoercayaan ini  dikategorikan  kedalam  persoalan ke Dhobitan seorang rowi, karena kekeliruan  itu mempunyai  ingatan yang tidak kuat.

4. Banyak sangka
Banyak sangka maksudnya adalah rowi itu tidak yakin betul  pada apa yang diriwayatkannya.

5. Hafalannya tidak baik
Maksud hafalannya kurang baik adalah bahwa salahnya lebih banyak dari pada benarnya.
Keburukan hafalan terjadi  karena suatu sebab, misalnya karena sudah tua atau tuli dan sebagainya maka haditsnya dinamai hadits Mukhtalith.
 

G. Kesimpulan

1. Adil merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar

2. Syarat adil: a. beragama Islam, b. baligh/mukalaf, d. sejahtera dari sebab-sebab kefasahan dan yang merusak muru’ah

3. Dhobith ialah orang yang memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki. Maksudnya seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.

4. Syarat dhobith:  a. hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya, b.  mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepda orang lain, c. faham dengan baik hadits yang dihafalnya itu,  d. mampu mengetahui kesalahan tulisan dalam kitab.

5. Orang-orang yang ditolak riwayatnya, yaitu  memiliki sifat yang menggugurkan sifat keadilan seseorang adalah: a.dusta, b. tertuduh dusta, c. fasik, d. tidak dikenal, e. penganut bid’ah. Sedang sifat yang menggugurkan sifat ke Dhobitan seseorang adalah: a. lengah dalam menerima hadits, b. banyak salah dalam meriwayatkan hadits c. menyalahi orang-orang kepercayaan, d. banyak sangka, e. hafalannya tidak baik

H. Saran

Disarankan agar kita jika menyampaikan hadits ataupun melaksanakan perintah dalam hadits untuk mengetahui hadits yang shahih yaitu sebuah hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang lain (juga) adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (‘Illat).

Daftar Pustaka

Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, 2007. Ushul al-Alhadits, Penerjm, H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama.

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia

Saeful Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Yogyakarta: Sabda Media

Syuhudi Ismail, M. 1987. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa


Syuhudi Ismail, M. 1997. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang



[1] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia. hal 120
[2] Syuhudi Ismail, M. 1987. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa.  hal 179
[3] Saeful Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Yogyakarta: Sabda Media. hal. 104
[4] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, 2007. Ushul al-Alhadits, Penerjm, H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama. hal 203
[5] Syuhudi Ismail, M. Pengantar Ilmu Hadits, Op. Cit., hal 179
[6] Saeful Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Op Cit. hal. 104
[7] Syuhudi Ismail, M. 1997. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. hal: 135-138
[8] Saeful Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Op Cit. hal. 104
[9] Saeful Hadi, 2000. Ulumul Hadits, Op Cit. hal. 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar